Seperti apakah negeri yang islami itu? Awalnya saya membayangkan negeri yang islami adalah negeri yang tidak jauh-jauh cirinya dari negeri yang surgawi, yaitu yang tanahnya subur, di tengahnya terhampar sungai-sungai yang dialiri susu kental manis (SKM), dan bidadari-bidadari cantik siap menanti para suami yang pulang kerja, sambil mengasuh putra-putri yang lucu-lucu.
Damai, sejahtera, adil, tidak ada kezaliman, dan tidak ada kemaksiatan. Tetapi, adakah negeri seperti itu di bumi Allah ini? Selama saya berkarier puluhan tahun sebagai psikolog internasional, saya sudah mengunjungi hampir seluruh dunia, dari Selandia Baru sampai Alaska, dari Amerika sampai Afrika, tetapi tidak satu pun tempat yang saya jumpai, yang matching dengan bayangan saya tentang negeri islami tersebut di atas.
Tetapi, dua peneliti dari George Washington, yaitu Prof Dr Scheherazade S Rehman dan Prof Dr Hossein Askari (dari namanya ketahuan bahwa mereka muslim), telah melakukan penelitian terhadap negara- negara (yang riil ada di dunia) yang paling islami. Mereka memublikasikan hasil penelitiannya dalam laporan bertajuk ”An Economic Islamicity Index (EI2)” yang dimuat dalam Global Economy Journal Volume 10, Issue 3, 2010, Article 1.
Buat dua profesor yang pintar- pintar itu, ternyata tidak sulit untuk merumuskan negara yang islami. Caranya adalah mengumpulkan ayat dan hadis yang mendeskripsikan bagaimana hendaknya suatu negara itu sehingga bisa disebut islami. Maka itu, Prof Rehman dan Prof Askari menemukan lima ajaran dasar Islam yang dijadikannya sebagai indikator keislaman sebuah negara, yaitu
(1)Ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia, (2) Sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik dan pemerintahan, (3) Hak asasi manusia dan hak politik, (4) Ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat kehidupan sosial, (5) Sistem perundang-undangan untuk nonmuslim. Tentu dalam penelitiannya dua profesor itu menceritakan bagaimana lima ajaran dasar itu dipecah menjadi variabel-variabel konkret yang terukur, yang membuat penelitian mereka sahih.
Tetapi, yang mencengangkan setelah penelitian itu dinyatakan sahih adalah hasilnya yang di luar dugaan kebanyakan orang (apalagi di Indonesia). Orang Indonesia rata-rata mengharapkan bahwa negara yang paling islami adalah negara-negara Islam seperti Arab Saudi, atau bahkan sekarang ada yang memuja Irak dan Suriah (ISIS). Tetapi, nyatanya tidak seperti itu.
Negara paling islami dalam penelitian itu (keadaan 2010) adalah Selandia Baru, diikuti oleh juara dua Luxemburg (negara tetangganya Belanda). Dua-duanya negara non-Islam. Amerika yang sering dianggap biangnya budaya Barat ada di posisi ke-15 bersama Belanda, dan Israel musuh bebuyutan banyak muslim Indonesia berada di urutan ke-17. Arab Saudi nomor ke-91 dan Indonesia sendiri di urutan ke-104, Mesir tambah hancur lagi yaitu di nomor ke-128, Irak dan Suriah (ISIS) masing-masing di urutan ke-148 dan 168.
Sedangkan 56 negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) berada pada urutan rata-rata ke-139 dari 208 negara yang disurvei. Tetapi, ada satu yang menarik, Malaysia. Negara tetangga kita ini duduk dalam urutan ke-33, yang tertinggi di antara negara-negara muslim. Karena itu, kita juga tidak pernah mendengar ada bom-boman di Malaysia. ***
Beberapa tahun lalu saya pernah menjadi dosen tamu (pensyarah pelawat) di Universitas Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Saya bekerja full time selama satu semester di universitas yang konon adalah UI-nya Malaysia. Jadi, saya lumayan tahu betul gaya hidup masyarakat di sana. Dalam urusan beragama, Malaysia sangat disiplin mengatur umatnya.
Yang pertama, mereka mengaku sebagai negara Islam, tetapi bukan sembarang Islam, melainkan Islam Sunni dari mazhab Syafii. Saya pernah mengunjungi Universitas Agama Islam Antar Bangsa di Kuala Lumpur, dan di sana secara eksplisit dinyatakan bahwa universitas itu tidak menerima mahasiswa dari sekte Islam yang lain, kecuali Islam Sunni mazhab Syafii.
Anda mau salat Jumat? Anda harus ke masjid kampus, atau masjid-masjid di tempat lain yang sudah diakui resmi oleh pemerintah. Hanya orang-orang dengan kualifikasi tertentu boleh menjadi khatib, dan mereka diberi license resmi oleh pemerintah. Mau bikin acara keagamaan apa pun (Islam) harus dipimpin ulama yang besertifikat. Jadi, samalah kira-kira dengan agama Kristen atau Katolik yang ulamanya harus sekolah teologi atau seminari dulu.
Dengan demikian, tidak ada ustaz-ustaz gadungan, atau ustaz-ustaz dadakan yang tiba-tiba naik mimbar Jumat dan pada akhir khotbahnya mengajak umat untuk mendoakan para mujahidin ISIS di Irak, Suriah, dan Poso (ini pernah terjadi betulan di Jakarta). Tidak ada lagi majelis-majelis taklim yang banyak mengajari ibu-ibu dengan kebenciankebencian pada agama lain atau sekte lain.
Karena itulah, Islam Indonesia makin jauh dari ideal menurut ukuran Prof Rehman dan Prof Askari. Tidak aneh kalau tiba-tiba c C.c.c seorang dokter wanita secantik dokter Rica tiba-tiba membelot menjadi pengikut kelompok radikal dan berani meninggalkan suaminya begitu saja dengan membawa anak balitanya. Rasanya di zaman Jamaah Islamiah tidak ada tuh , rekrutmen untuk keluarga dan wanita.
Di zaman NII orang yang terhipnosis, paling banyak terkuras koceknya, tetapi tidak sampai harus hijrah ke Irak dan Suriah. Tetapi, di zaman ISIS semuanya lengkap. Bukan hanya laki-laki, tetapi juga wanita dan keluarga, dan para ahli diangkut ke Irak dan Suriah. Last but not least , mereka yang balik dari Irak dan Suriah, seperti sudah diduga, menjadikan Indonesia (baca: Jakarta) sebagai ajang jihadnya.
Jadi, Indonesia yang ingin jadi negara paling islami justru menjadi sarang teroris karena islami tidak sama dengan membiarkan semua sekte berkembang biak dan beranak pinak dengan bebas sebebas-bebasnya.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. (GBA)
Edisi 24-01-2016
No comments:
Post a Comment