Wednesday, May 21, 2014

Mendidik dengan kilatan CahayaNYA

Wacana SUFI ke-80

Seseorang yang bisa mendidik bukanlah mendidik dengan verbal (kata-kata, tekstual). Tetapi seorang pendidik yang sesungguhnya adalah yang mendidik dengan kilatan cahayaNya. 
Tiba-tiba seseorang mengalami perubahan dalam dirinya. Sebenarnya seseorang tersebut di-didik sekaligus menjadi mandiri. 
Syech Abul Abbas Al Mursi QS mengatakan, kalo penyu mendidik anak-anaknya cukup dilepas. Ada telor calon anak penyu yang memang perlu dierami supaya menetas. Dan ada juga telor yang menetas dengan sendirinya, jika dierami justru busuk. 

Kadang-kadang para masyayikh mendidik kita seperti penyu tadi, harus mandiri hatinya. Itu artinya hati tidak boleh gampang bingung. Kita punya Allah, punya Iman, itu sudah cukup. Ada kemandirian di hatinya. 

Para masyayikh mendidik jiwa, seperti contoh penyu tadi. Penyu bertelor di darat, tetapi dia sendiri mendidik telor itu dari air. Setelah bertelor, dia tinggalkan ke sungai/air dan dia hanya lihat telornya dari jauh. Lalu Allah Ta'ala yang mendidik telor ini sampai menetas.

Seringkali kalo kita memahami perspektif kemursyidan sufi, bagaimana bisa seorang mursyid mendidik muridnya diujung sebelah sana yang tidak pernah bertemu ?

Yaitu dengan pandangan matahati, seperti penyu tadi melihat telornya, justru dia melihat dari air, padahal telor ada di darat.

Oleh karena itu Rasulullah SAW juga terus menerus mendidik umatnya, selain melalui ajaran yang sifatnya dohiriyah, maksudnya ada yang terbaca, ada gerakan, ada contohnya, dst dimana disana juga ada pendidikan, ibarat seperti silabus. 
Tetapi Rasulullah SAW juga memandang dengan segala cinta kasih sayang luar biasa sepanjang zaman. Cara mendidik Beliau melalui nur, itu bentuk syafaat Beliau kepada umatnya di dunia ini. 
Makanya umatnya agar "cerdas imannya", seperti yang diperintahkan Allah Ta'ala, agar bersholawat kepada Nabi. Sholawat itulah sebenarnya kita sedang belajar. Kita terus menerus mendapatkan limpahan cahaya Rasulullah SAW. 
Allah sendiri bersholawat, itukan menggambarkan betapa Rasulullah menjadi pusat nur yang akan membias ke seluruh umatnya 
sepanjang zaman. 
Nah, kita menyiapkan wadahnya, ibarat seperti menyiapkan lampu-lampu dan saklarnya agar klik menyala. Kalo tidak ada lampu dan saklarnya, tak akan pernah menyala, justru bisa menjadi korsleting. 
Sebanyak-banyaknya lampu dan saklar yang kita siapkan, dengan terus sholawat, lalu terang dan terus semakin terang. "
[DR. KHM. Luqman Hakim | Masjid BANK INDONESIA, Jakarta Pusat | 14 Mei 2014]

Monday, May 19, 2014

Air rohmat Allah menggenangi Hati Tawadhu


Wacana SUFI ke-79

Tak ada yang membuat seseorang runtuh dibanding kesombongan.

Ketika orang sombong, sebenarnya dia sudah runtuh. 

Hujan turun mengalir di tanah yang kondisinya menurun, dan tidak menggenang di atas kepala bukit.

Diibaratkan hati orang sombong, seperti kepala bukit yang posisinya di atas terus. 

Padahal hujan itu tidak pernah menggenang disana, tapi menggenangi  tanah-tanah yang rendah. 

Begitu juga air rohmat Allah Ta'ala, akan mengalir dan hanya berpindah dari wilayah hati yang sombong menuju hati yang tawadhu. 

Hati yang rendah, itu seperti tanah yang rendah, yang akan terus menerus digenangi rohmatnya Allah Ta'ala. 

Di dalam wudhu, kita diwajibkan untuk mengusap kepala, karena kepala itu tempat orang menegakkan eksistensi dirinya, untuk menyombongkan diri. 

Makanya sampai harus diusap saat kita wudhu, dan supaya air rohmat itu mengalir, kepala kita haruslah menunduk.

Apa yang kita jadikan alasan untuk sombong di dunia ini ? 

Tak sedikitpun atau tak satupun alasan untuk sombong. 

Yang dimaksud orang yang sombong yaitu orang yang menolak kebenaran, bukan lah orang yang memakai pakaian bagus, yang cakep atau memakai mobil bagus. 

Orang yang sombong selain menolak kebenaran, juga punya perasaan meremehkan orang lain. 

Ketika orang meremehkan orang lain, maka pada saat yang sama dia merasa lebih dari orang lain. 

Nah, itulah yang disebut sombong.

Walaupun pakainnya kumal, kalo dia meremehkan orang lain, jadinya sombong dia. 

Sedangkan orang yang tawadhu yaitu orang yang rendah hati, bukan rendah diri. 

Orang yang jiwanya terbuka, menerima fakta-fakta kehidupan yang berbeda-beda, dengan keluasan jiwa. "
[DR. KHM. Luqman Hakim | Masjid BANK INDONESIA, Jakarta Pusat | 7 Mei 2014]

Wednesday, May 14, 2014

Tanda-tanda Orang Sukses

Wacana SUFI ke-78

Saya ini sukses atau tidak ya menjadi hamba Allah ?  
Apakah saya sukses ukhrowi atau tidak ya ?

Apa yang disebut sukses itu kariernya sukses, fasilitasnya sukses ?  padahal itu sukses duniawi belaka.  
Kalo kita tidak sukses ukhrowi, hidup kita ini akan sia-sia. Bertahun-tahun hidup, ternyata tidak sukses di akherat. 

Bagaimana cermin bahwa kita itu sukses ? 
ketika memulai apa saja hidup di dunia ini, senantiasa mengembalikan semua itu kepada Allah. Tandanya anda sukses.

Contoh : anda mau membaca Qur’an. Aku membuka Qur’an, nawaitu membuka Qur’an ini sesunguhnya dariMu, Allah. Inilah yang namanya kembali pada Allah. Engkau gerakkan melalui anugerahMu, dan ini juga kehendakMu. Sekarang ketika aku membaca Qur’an, juga bersamaMu, untuk apa saya membaca Qur’an ? hanya bagiMu. Itu namanya kembali pada Allah. 

Tiga suku kata mudah untuk diingat terus, ~minhu-bihi-ilaihi~ Dari Allah, Bersama Allah, Menuju Allah dalam segala hal. Itu akan membebaskan seluruh beban-beban amaliyah kita. 

Termasuk anda bekerja, bahwa aku bekerja ini karena dariMu. Sekarang aku berangkat bersamaMu. Untuk apa saya bekerja? hanya BagiMu, Allah. Menjadi ringan bekerjanya. 
Inilah tanda di akherat orang itu sukses. 

Siapa yang cemerlang awalnya, cemerlang pula akhirnya. Artinya cemerlang itu dilimpahi oleh Nur. Hatinya cemerlang yaitu hati yang dilimpahi oleh Nur. 

Kalo sejak awal kita ini bersama Allah, akhirnya tentu pasti menuju Allah. Tetapi coba kita tidak bersama Allah, bersama diriku sendiri, bersama kepentingan-kepentinganku sendiri, bersama selera-seleraku sendiri. Itu tidak akan bertemu Allah nanti. Walaupun kita sujud sampai hitam kepala kita. 

Jadi harus billah, bersama Allah awalnya. Ya Allah.....aku ini bersamamu, karena Engkau semua yang menggerakkan aku ini. Kenapa? karena ini kehendakMu semua. Aku tidak berdaya, Tuhan. 

Disitu lalu muncul pilihan-pilihan. Pilihan apa? Aku tidak ingin dalam proses ubudiyah ini, bersama makhlukMu, bersama hawa nafsuku, apalagi bersama syetan. Nanti aku menjadi tidak ketemu Engkau, Allah. 

Ketika sholat, ya Allah....ini Engkau. Semua ini yang menggerakkan Engkau, termasuk nawaituku juga. Itu setidak-tidaknya menghantar kita untuk tawajjuh (menghadap), lalu menjadi khusyu’ kita. "
[DR. KHM. Luqman Hakim | Masjid BANK INDONESIA, Jakarta Pusat | 3 Juli 2013]