Sunday, April 13, 2014

Perjalanan Dzikrullah

Wacana SUFI ke-77

" Dzikir ini satu bentuk keniscayaan sehari-hari. Semua orang beriman akan menjadikan satu standar atau quality di dalam kehidupan sehari-hari. 
Filosofi dzikir itu seperti apa? 
Mungkin ada pertanyaan kenapa manusia ini kok harus berdzikir ? 
Kenapa perintah dzikir diulang-ulang oleh Allah, sepanjang hari, dengan jumlah tertentu atau ada lagi tidak ada jumlahnya ? 
Selama ini kita sudah melakukan, tetapi kalau disebut sebuah titik pandang dari struktur tubuh, terdalam ruhnya sampai dengan perjalanan dibalik dzikrullah, ini seperti apa ?
Filosofi  dzikrullah inilah yang akan mengungkap, sebenarnya kenapa kita sampai pada satu titik. Seseorang itu pasti akan mengatakan, “ya sudah, manusia dan dzikrullah itu tidak pernah pisah’, karena begitu dia pisah dengan dzikrullah, sebenarnya dia telah melesat dari orbit manusiawinya.

Seandainya ada satu alat, tentu bukan alat manusia, tetapi alatnya ada di alam langit sana. Manusia memiliki satu orbit spesial yang begitu istimewa, tapi begitu dia tidak mengenal Tuhan, dia hilang dari orbitnya, dan jika mengingat kembali, terlihat kembali di jalur orbitnya.

Nah dari situ ada satu urutan gradasi perjalanan dzikrullah.

1.  MINALLAH - dari Allah

Apa saja yang disebut Minallah (dari Allah) itu, mulai dari bahan kita, sampai dengan seluruh kebutuhan-kebutuhan kita ?
Contoh : manusia tidak akan pernah mengerti kebutuhannya.

Besok itu, jantung saya harus berdetak berapa kali?

harus minum air berapa gelas?

hidung bernafas berapa kali?

apalagi yang tidak tampak, seperti saya besok harus berterima kasih atau bersabar, seberapa besar volumenya?

Ternyata Allah yang menyiapkan semua itu, sehingga semua ini pasti dari Allah. Puncak kesadaran yang disebut pencarian, pada akhirnya berkesimpulan semuanya dari-Mu, Tuhan.
      2.  ILALLAH - menuju Allah


Ketika hidup di dunia, orang selalu bilang tentang harapan, cita-cita maupun impian. Tetapi apakah kita pernah di dalam hidup ini menengok atau menjenguk sebuah harapan baru, yang paling hakiki? 
“saya punya harapan memiliki rumah, mobil, bisnis dll, tetapi pada akhirnya mati juga”.

Selanjutanya apa harapanku di kuburan?

setelah kuburan, apa harapanku di akherat?



Sebagai intermezzo, ada seorang kawan yang memiliki penderitaan pada titik nadir. Lalu dia ingin protes pada Tuhan. Tetapi dia justru mendapat ilham dari Allah swt. “Penderitaanmu di dunia saat ini, kalau dibanding penderitaanmu besok di akherat tidak ada apa-apanya”. Akhirnya kalimat itu selalu terngiang-ngiang setiap dia sedih, dan itu menjadi bagian yang membuat dia kembali pada satu titik yang begitu netral, setiap menghadapi masalah.



Ini soal harapan dan cita-cita, kemudian begitu di akherat harapannya cuma ada 2 yaitu kalau tidak ke surga, tentu ke neraka. Tetapi rupanya surga itu belum final. Seluruh penghuni surga berharap ingin bertemu Sang empunya surga yaitu liqo Allah atau bertemu Allah. “Oh, ternyata harapanku Engkau, Allah”.
Nah, ini namanya harapan final, sehingga disimpulkan seluruh perjalanan hidup, cita-cita, harapan , impian dan semuanya rupanya menuju pada Allah swt.



 Jadi sebagai orang beriman, kalau kita belum pernah punya, “cita-citaku adalah Engkau, Allah”. Kita harus bangun cita-cita seperti itu, kenapa? kalau tidak, perjalanan iman kita sendiri bakal kesandung-sandung, karena harapannya bukan Allah swt.



Ada satu ayat di Al Quran yang sering dikutip pada saat maulidan, “ada teladan yang bagus, di dalam pribadi Rosul, bagi orang yang harapannya Allah”. Tetapi kalau harapannya bukan Allah, mengikuti jejak Rosul itu berat sekali, karena itu perlu harapannya menuju Allah swt.



Dalam prakteknya sehari-hari , “aku niat berangkat kerja untuk beribadah, karena cari nafkah untuk keluarga itu termasuk ibadah”.  Hal itu mungkin sudah dilakukan bertahun-tahun, sekarang ketika berangkat kerja, perlu dinaikkan grade dan motivasi anda. Bukan lagi ibadah, naik dari ibadah menjadi ubudiyah. Kalau ibadah itu menyembah, tetapi kalau ubudiyah itu menuju pada Allah swt.



Jadi anda berangkat dari rumah untuk bekerja, diiringi dengan berdoa “ya Allah, aku menuju kepadaMu”. Anda akan mengalami suatu proses spiritualisasi yang sangat berbeda dari rumah ke kantor. Hal ini akan berbeda nuansanya ketika berangkat ke kantor, sekedar mengatakan “Tuhan, aku bekerja dengan niat beribadah lho”.



Shalat juga begitu, kalau dulu aku niat supaya dapat pahala, sekarang harus berubah aku menuju kepadaMu. Hal itu akan membuat anda mulai menjalani keakraban, disitu mulai muncul sense of Allah swt.



Aku menuju Allah itu dengan apa atau dengan siapa ? ini akan beranjak ke urutan gradasi berikutnya yaitu Billah.
      3.  BILLAH - bersama Allah



Maksudnya, bukan bersama diri sendiri, dengan seluruh kemampuan, kapasitas dll.



Orang kalau menuju Allah swt bersama dirinya sendiri, itu sangat berat dan barangkali akan sangat mudah terpleset. Kata Tuhan, “kalau kamu menuju Aku, harus bersama-KU, bersama agama-Ku, bersama nabi-Ku, bersama nur-Ku, bersama rahmat dan fadhol- Ku , karena semua manusia itu mengenal Aku”.



 Di dalam AlQur’an disebutkan, semua makhluk itu mengenal Allah swt, tetapi hanya bagi yang benar-benar mengikuti cara menuju Allah, dan dia bersama Allah, dengan agama dan para nabiNya, yang bakal akan sampai kepada Allah swt.



 Contoh para filosuf yunani kuno, yang mempengaruhi peradaban modern ini. Semua mencari Tuhan dan semua mengatakan mengenal Dia. Tetapi setiap abad, selalu muncul antitesa terhadap sintesa mereka. Dan rupanya memang sebenarnya mereka belum ketemu Tuhan.



Supaya sampai pada Allah swt harus Billah (bersama Allah). Kalau orang di posisi bersama Allah swt, maka seseorang akan mulai mengakui proses yang disebut dengan abdun (hamba). Konsep tentang hamba, di dalam dunia pendidikan modern atau filsafat pendidikan tidak ada sama sekali pembahasannya. Tidak ada konsep supaya orang di didik menjadi hamba Tuhan. Dan hal itu hanya ditemui di dalam Islam saja.



Di dalam AlQur’an ayat tentang isro’ mi’roj diawali dengan “Maha Suci Allah”. Satu-satunya surat yang dimulai dengan “Subhana”, itu hanyalah surat Al-‘Isro. Subhana itu tasbih, bentuk penafian, menafikan segala hal selain Allah swt.



Supaya Rasulullah saw itu sampai pada Allah swt, dan yang di-isro’-kan (diperjalankan) oleh Allah swt, itu bukanlah bi-muhammadin, bi-rosul atau bi-nabi, akan tetapi bi-abdihi (bersama kehambaan).  “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya” (surat Al-‘Isro , ayat 1).



 Jadi yang bisa menghadap Allah itu kehambaan, karena tahap dimana seseorang pada eksistensi kehambaan, keakuannya akan hilang, egonya juga hilang. Kenapa iblis itu kena hijab ? itu gara-gara kata “Aku”. Maka di AlQur’an ada tragedi “Aku” yang sangat mencekam dan gelap, yaitu akunya iblis dan akunya fir’aun. Keduanya berkolaborasi menjadi satu kekuatan gelap yang luar biasa sampai dengan sekarang.



Iblis menyatakan, “aku lebih baik dari Adam’, itu berarti kehambaannya hangus, lalu dia masuk dalam hijab kegelapan. Mulai saat itulah dia benar-benar menjadi iblis. Begitupun Fir’aun yang mengatakan, “Akulah Tuhanmu yang paling hakiki”.



Dua-duanya dengan “Aku”, dan dari keduanya sejak abad ke-18, setelah munculnya abad pencerahan filsafat eksistensialis modern, maka muncul gerakan “aku” untuk humanisme. “Aku mampu….. !!! Aku hebat….. !!! Aku berdaya……!!!.... dll ”. Kemudian menjadi gerakan motivator seluruh kebudayaan dan manajemen modern.



Padahal ketika orang berkata, “Aku mampu…..!!! Aku hebat…..!!! Aku berdaya……!!!.... dll ”, Tuhan menjadi hilang. Memang menjadi hebat, seperti Fir’aun. Apalagi iblis lebih hebat. Tetapi hebat yang gelap, karena kehambaannya hilang.



Seharian penuh bekerja keras, “itu kan prestasiku”, maka hilang kehambaannya, orang sudah tidak bersahaja lagi. Tuhan sudah tidak dianggap berperan dalam proses tadi, “Tuhan dimana? nanti saja menjelang adzan maghrib, Tuhan akan terlibat”. Hal ini betul-betul menafikan Tuhan, gara-gara muncul keakuannya.



Pada Billah inilah, proses yang disebut abdun itu mulai muncul, dalam proses-proses kehambaannya menuju kepada Allah swt. "
 [ DR KHM Luqman Hakim | Kantor Pusat Bank BNI Sudirman, Jakarta Pusat | 10 April 2014 ]

Saturday, April 12, 2014

Melamun Ampunan Allah swt


Wacana SUFI ke-76

" Allah swt tidak rela kalau anda menjadi pecinta tapi tidak dicintai. Kita ini mencintai Allah, tapi Allah tidak suka. Maunya Allah itu, sang hamba mencintai dan dicintai. Itu artinya kalau kita ingin mencintai Allah, tetapi terus-menerus maksiat. Berarti kita mencintai tapi tidak dicintai.

Kemudian bagaimana posisinya sang kekasih dibanding sang pecinta ? Bagi seorang hamba yang mengenal, tentang berbuat baik. Misalnya kita mengenal ada seseorang, dimana dia berbakti kepada tuan yang baik sekali. Kemudian si hamba sengaja berbuat salah pada tuannya --yang seharusnya jangan dilakukan seperti tiu--. Merupakan suatu kebaikan seorang tuan, manakala melihat pembantunya atau pegawainya bersalah, dia justru memaafkan. Sebaliknya tuan yang tidak baik, apabila dia tidak mau memaafkannya.

Begitu juga kebaikan dan kebajikan ilahi, ketika ada seorang hamba menentang atau melanggar, justru dipanggil dan dibukakan pintu ampunanNya. “wahai hambaKU….. kemarilah!”. Bagi hamba yang mengenal Dia, maka akan segera memenuhi panggilan ampunanNya.

Kita tidak akan pernah mengenal, kalau tidak pernah muroqobah. Muroqobah itu mengintai dan mewaspadai Allah swt terus menerus. Orang mengenal (makrifat) akan selalu mengatakan, “aku ingin terus menerus dekat Engkau dan tidak ingin kehilangan Engkau, Allah”.

Orang tidak akan mendapat keuntungan, jika hatinya selalu sibuk dengan selain Dia. Dia itu memberi semuanya kepada kita dengan penuh cinta, namun kita sendiri justru sibuk dengan yang lain di hati kita. Kalau melakukan hal itu, berarti kita sedang tidak beruntung, sedang tidak mendapat keuntungan besar dari Allah swt.

Maka orang yang mengintai waspada, akan tahu bahwa nafsu selalu mendorong seseorang untuk berbuat kerusakan dan kehancuran. Nabi Adam saat turun dari surga ke dunia, doa yang selalu dipanjatkan, “Robbana dholamna anfusana”. Ya Allah, kami dholim, nafsu kami yang dholim ini. Sesungguhnya yang mengajak kami harus melanggar adalah nafsu kami.

Seseorang akan tahu bahwa hati selalu mengajak yang benar, ke jalan yang lurus. Orang maksiat kalau melihat kadar dirinya saat bermaksiat, dia akan mengetahui betapa agungnya ampunan Allah swt. Jika sudah tahu besarnya ampunanNya, maka dia justru akan menghindari dan tidak mau berbuat maksiat.

“lho, orang tersebut semakin bertambah maksiat saja ya ?” itu pasti karena dia tidak mengetahui kebesaran ampunan Allah swt. Kalau dia mengetahui Allah Maha Pengampun dan Maha Besar Ampunannya, maka dia pasti berhenti berbuat salah.

Jangan sampai kita seperti yang dikatakan oleh Al Hasan RA, ada seseorang berimajinasi atau melamun ampunan Allah swt. “Allah Maha Besar, saya husnudzon saja akan ampunan Allah, jadi kalo saya maksiat tidak apa-apa lah, khan Dia Maha Pengampun”. Nah ini namanya orang melamun ampunan, bukan benar-benar memohon ampunan. Kalau orang mohon ampun, pasti dia akan berbuat baik.

Kenapa ? karena sebenarnya perbuatan baik itulah yang menyongsong kebesaran agungnya ampunan. "
[DR. KHM. Luqman Hakim | Masjid BANK INDONESIA, Jakarta Pusat | 12 Maret 2014]

Wednesday, April 9, 2014

Kemuliaan yang Abadi

Wacana SUFI ke-75

" Di antara kemuliaan yang dianggap mulia oleh orang lain, manakala imajinasi publik yang mengatakan ada orang tiba-tiba menghilang dan berada di kutub utara, terus dalam sekejap kembali ke tempat semula. Kehebatan semacam itu dianggap sebuah kemuliaan. Hal ini dikritik oleh Syech Ibnu ‘Athaillah.

Pada zaman Beliau, banyak orang pergi ke Mekah dalam sekejap, terus kembali lagi, yang sering disebut melipat ruang. Ada lagi yang disebut melipat waktu, dalam sekejap tiba di zaman 2000 tahun yang lampau, atau dia bisa memasuki zaman 1000 tahun yang akan datang, dan semua kejadian diketahuinya, kemudian dalam sekejap balik lagi di masa sekarang.

Kata Beliau, bukan seperti itu yang dianggap melipat hakiki, yang disebut melipat/quantum/lompatan yang hakiki, sebenarnya atau sesungguhnya adalah apabila bisa melipat jarak dunia ini dari anda. Kalau kita bisa menggulung langit dan bumi, tiba-tiba anda sudah di akherat, nah ini baru hebat. Jika anda melihat akherat lebih dekat dibanding diri anda, dan akherat pun dia lipat, tiba-tiba dia sudah di depan Allah swt. Inilah yang namanya melipat hakiki.

Syech Abul Abbas Al Mursi mengatakan, bukan sesuatu yang penting, orang yang punya kehebatan melipat ruang dan waktu, itu tidak penting sama sekali. Maksudnya orang hebat tadi dibanding dengan orang yang tidak bisa apa-apa, di mata Allah sama saja. Jangan dikira, orang yang bisa melipat ruang dan waktu tersebut lebih tinggi dan mulia di mata Allah swt, dibandingkan dengan orang yang tidak bisa apa-apa. Bukan seperti itu yang dianggap penting, tetapi yang hebat dan paling penting itu orang yang bisa melipat nafsu-nafsunya. Misalnya anda punya agenda nafsu dengan segala watak dan perilakunya, kemudian anda gulung, begitu jelinya dia lipat, tiba-tiba hadir di depan Tuhannya. Inilah yang paling hebat.

Makanya para masyayih dan para syech Sufi mengingatkan, anda jangan heran kepada orang yang memasukkan tangannya ke kantong saku selalu ada uangnya. Heran lah pada orang yang meletakkan uang atau barang berharga di kantong sakunya, setelah beberapa saat dia masukkan tangan di kantong sakunya, ternyata uang atau barang berharga tersebut tidak ada/hilang. Tetapi dia tidak berubah roman mukanya, tidak sedih, tidak menyesal, juga tidak bingung mencari kemanapun. Anda patut heran dengan orang seperti ini. Hal ini karena nafsunya sudah dilipat dan digulung oleh dia.
Pernah ditanyakan kepada salah seorang Syech Sufi, “wahai Guru, si A itu bisa berjalan di atas air melintasi samudera atau bisa terbang di atas awan”. Jawab Beliau, “saya lebih kagum pada orang yang bisa melawan hawa nafsunya, dibanding orang yang bisa berjalan di atas air ataupun bisa terbang”.

Ini lebih agung dan hebat, karena dia telah mampu menundukkan dirinya sendiri.  "
[ DR KHM Luqman Hakim | Masjid Jami Baiturrohim, Beji Timur, DEPOK | 8 April 2014 ]

Tuesday, April 8, 2014

Menepis Riya

Wacana SUFI ke-74

" Ada orang yang ibadahnya tekun, tapi tidak pernah paham hakikat ibadahnya. Rupanya memang bijinya tidak ditanam. Atau besar sekali pohonnya, tapi tidak ada buahnya. Dulu memang dilempar begitu saja. Buah mangga itu tumbuh sendiri, besar dan tidak berbuah. Atau belum sampai tumbuh sudah busuk. Ini adalah bahayanya riya.  
Hubungannya dengan Ikhlas, bagaimana menepis Riya ? harus disembunyikan hatinya. Anda tetap berbuat baik dengan siapapun, biarkan saja dilihat orang. Sedangkan hubungan hati anda dengan Allah, biar Allah saja yang tahu.  
Dawuhnya Syech Abdul Jalil almaghfurlah, “ Rahasiakan Allahmu, sebagaimana engkau merahasiakan cacat-cacatmu”. Artinya kualitas hubungan kita, kualitas imaniyah kita dengan Allah harus disembunyikan.  
Sebenarnya kita mengingat akherat saja, belum mengingat di hadapan Allah. Misalnya iman anda ini hebat, orang se-indonesia menyebut anda orang paling beriman. Anda punya nama besar karena anda paling beriman. Atau disebut orang paling makrifat misalnya. Bahkan disebut orang seluruh dunia sebagai paling hebat, apakah ada pengaruhnya di akherat ? khan tidak ada pengaruhnya di akherat. 
Malu juga, ternyata di akherat tidak ada artinya disebut orang paling hebat. Apalagi di depan Allah, tentu lebih malu lagi, “mana kehebatanmu hambaKu ? kamu khan tidak pernah membuat, itu ciptaanKu”.  
Dengan begitu orang menjadi “plong”, hidupnya jadi tulus. Kenapa aku sulit bisa tulus ? karena kita memang tidak “plong”. Banyak yang kita sembunyikan dan takuti, lalu kita berbuat baik pun untuk menutupi rasa takut kita. Takut kalo dikatakan begini, takut kalo tidak dikatakan begitu.  
Itu membuat jalan kita tersandung-sandung. Jalan hati atau jalan iman kita kepada Allah swt yang sebenarnya tersandung-sandung. "
[ DR KHM Luqman Hakim | Masjid Jami AlMunawwaroh, GUSDUR, Ciganjur Jaksel | 7 April 2014 ]

Friday, April 4, 2014

Mendidik Keikhlasan

Wacana SUFI ke-73

" Bagaimana kita mendidik dan menjaga keikhlasan ? 
Pendamlah dirimu atau wujudmu di dalam gundukan tanah yang sunyi. Tapi bukan dengan dikubur, “wah, ini harus topo mendem”. Maksudnya diri adalah sebuah kualitas. Kualitas yang selama ini ada di dalam dirimu, yang berhubungan dengan Tuhanmu, pendamlah dan jangan ditampakkan. Kualitas hubungan kita dengan Allah, harus kita sembunyikan betul, seperti orang memendam mayatnya. 
Sebuah pohon yang tidak pernah dipendam bijinya, tidak akan pernah sempurna tumbuhnya. Orang ahli ibadah, ahli amal, ahli kebaikan yang setiap hari dipamer-pamerkan, tidak akan pernah sempurna spiritualitasnya orang itu. Meskipun mungkin saja dia tumbuh, seperti pohon yang tumbuh besar sekali, tetapi tidak ada buahnya. 
Ada pohon besar sekali, tapi tidak pernah berbuah, biasanya bijinya tidak dipendam, bijinya dilempar begitu saja, tumbuh sendiri dan liar. Tumbuhnya tidak sempurna, karena tidak di didik, bijinya tidak dicangkul, dipupuk, penyakitnya dibuang dan dipagari. 
Keiklasan amaliyah, harus kita sunyikan. "Ya Allah, biar Engkau saja, yang tahu kebaikanku". Misal dalam hal sholat, biarlah yang tahu hubungan hatiku dengan Engkau ketika aku shalat, cukup Engkau sendiri. Malaikat jangan boleh tahu, Tuhan. Sebab kalau malaikat tahu, akan mencatatnya. Jika dicatat, isinya mungkin akan banyak kurangnya. 
Hal yg sama, ketika biji disebar, biasanya kalau tidak dipatuk burung, dimakan ulat atau tumbuh tidak sempurna seperti tadi. Begitu juga kualitas hubungan kita dengan Allah, kalau kita tunjuk-tunjukkan ke orang lain, akan dipatuk oleh setan. Kualitas hati yang dipatuk dan dicuri oleh setan karena diperlihatkan, jadinya langsung diganti dengan takabur, takjub diri, riya atau bangga. 
Dikatakan oleh Syech Abul Abbas Al Mursi, “Siapa yang menginginkan popularitas, berarti dia bukan hambanya Allah, tapi hambanya popularitas. Siapa yang menginginkan tersembunyi, dia hambanya tersembunyi”. 
Saya mau bersembunyi saja, kenapa ? supaya makhluk-makhluk tidak melihat saya. Dan nanti kalau saya menyembunyikan sedekah atau perbuatan baik, nanti saya akan disebut orang ikhlas. Anda menyembunyikan sesuatu, karena ingin disebut ikhlas, itu namanya riya. Jadi baiknya biasa-biasa saja lah. 
Yang disebut hamba Allah itu, tampak ataupun tersembunyi, sama saja. Orang berusaha menyembunyikan, misal anda ingin menyembunyikan, itu jangan karena ingin tersembunyi. Ada orang yang menyembunyikan sesuatu, khawatir kalau ditampakkan jadi bahaya, sebaiknya disembunyikan saja. Atau ada orang ingin menampakkan sesuatu, tetapi kalau ditampakkan bisa habis-habisan, sebaiknya disembunyikan saja. Ini adalah proses mendidik.  
Kalau sdh sempurna sebagai hamba Allah atau Abdullah, dia tidak ada urusan tampak ataupun tersembunyi, karena sudah bukan hambanya tampak atau hambanya tersembunyi, tapi hambanya Allah. Seperti itulah latihan keikhlasan kita. 
Jangan sampai kita berbuat baik, tapi menunggu ikhlas. Berbuat baik sajalah, kadang-kadang Allah menurunkan anugerah ikhlas, tanpa kita duga. Misal anda berdzikir tapi belum bisa ikhlas, tetap dzikir saja, nanti tiba-tiba ikhlas datang juga. Ikhlas itu juga tidak bisa kita usahakan, itu anugerah Allah. 
Orang di didik dengan Lillahita’ala, apa sudah ikhlas? belum, itu baru menyiapkan diri untuk wadahnya ikhlas. Sebesar apa kualitas lillahita’ala itu, sebesar itulah Allah memberi ikhlas, dan rasa lillahita’ala masing-masing orang berbeda. "
[ DR KHM Luqman Hakim | Kantor Pusat PT TELKOMSEL | 27 Maret 2014 ]

Thursday, April 3, 2014

Hati bekerja dengan Allah


Wacana SUFI ke-72

Kalo tiba-tiba makhluk pun mulai tidak cinta pada anda. Contoh paling sederhana, anda putus cinta, karena diputus oleh pacar. Maka bergembiralah, itu cara Allah menolong anda. Kenapa ? Allah pelan-pelan membukakan cinta itu hanya padaNYA. Kebahagiaan cinta sejati, hanyalah padaNYA, bukan pada makhluk. 
Makanya di AlQur’an disebutkan, “orang-orang yang tidak dilalaikan dirinya oleh aktivitas bisnis, dari berdzikir pada Allah”. (QS. An-Nuur: 37)
Jangan sampai aktivitas kerja kita itu, melalaikan hubungan hati kita dengan Allah. Urusan kerja dengan dunia cukuplah urusan tangan, pikiran, mata, telinga, hidung, indera, kaki atau aktivitas fisik lainnya. 
Lha, bagaimana dengan hati kita ? hati bekerja dengan Allah, dengan sepenuh cinta kepada Allah. Itulah cara kita memandang.

Link Download Rekaman Audio Mp3

Kalo hati kita bekerja dengan Allah, maka akan menumbuhkan Nur, cahaya yang menerangi dunia. Termasuk dunia kerja kita. 
Lalu apa yang terjadi ? bukan kemudian, “oh, saya mau berdzikir, supaya pekerjaan saya lancar”, jika demikian kita tadi berdzikir bukan pada Allah, tetapi sebenarnya pada pekerjaan, jadinya memanfaatkan Tuhan.  
Anda boleh berdoa, tapi jangan sampai menimbang dunia dengan dzikir, menimbang dunia dengan ibadah, menimbang dunia dengan kabajikan kemuliaan akherat. 
Terlalu kecil jika dunia ditimbang dengan akherat, sama sekali tidak seimbang. Makanya kalo kita berbuat baik, ya lillahita’ala saja, tidak usah dihubung-hubungkan dengan duniawi.  
Tetapi anda boleh berdoa untuk kepentingan dunia anda, justru bagus, supaya ditolong oleh Allah dunia anda. Kalo dunia anda ditolong oleh Allah, dunia ini tidak akan menguasai anda, tetapi anda yang bisa menguasai.  
Bagaimana cara menguasai dunia ini ? yaitu jika nafsu kita tidak terlibat di dalam proses-proses duniawi tadi. Kalo nafsu kita terlibat, kita kembali lagi dikuasai oleh dunia. "
[DR. KHM. Luqman Hakim | Masjid BANK INDONESIA, Jakarta Pusat | 2 April 2014 - rekaman menit ke 28:20]

*********

perhatian: Bagi yang ingin download, harus ijin terlebih dahulu, dengan cara meninggalkan jejaknya, klik tombol Like/Jempol/Tweet/g+ atau mengisi Komen.