Friday, February 26, 2016
Kriteria mujtahid muthlaq
Dalam hal ijtihad, saat ini, menurut para ulama Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah, sangat sulit menemukan mujtahid muthlaq.
Memang ada ulama yang memiliki kompetensi ijtihad, namun tidak sampai pada mujtahid muthlaq. Untuk menjadi mujtajid muthlaq saja sulit, apalagi mujtahid muthlaq mustaqill (independen dalam mendirikan madzhab). Dan yang paling mungkin diraih adalah mujtahid madzhab (pengkaji salah satu madzhab) tertentu. Tidak sampai mampu mujtajid muthlaq. Kenapa begitu sulit? Apakah harus memiliki ilmu yang tabahhur (ibarat lautan luas)? Itu memang syaratnya, tapi ada pra-syaratnya lagi. Di dalam kedudukan mujtahid madzhab saja masih dapat digolongkan ke beberapa kategori lagi. Saya beri ulasannya.
Dalam ijtihad (pengkajian) madzhab, ada kategori pendapat mu’tamad (yang dipegang) dan ghairu mu’tamad. Status menjadi mu’tamad bukan hanya karena pendapat itu dikeluarkan oleh ulama yang memiliki pendapat (argumen) lebih kuat. Namun lebih dari itu, selain memiliki dasar argumen yang kuat, tapi ulama tersebut menduduki maqam (kedudukan) bathiniyah yang luhur. Jadi bukan hanya argumen yang kuat saja yang membikin pendapatnya mu’tamad, tapi maqamat (kedudukan) bathiniyahnya (spiritual) juga. Pendapat salah satu ulama disebut rajih (unggul) atau mu’tamad karena bathiniyah-nya lebih tinggi dibanding yang lainnya.
Imam Rafi’i, misalnya, memiliki umur yang lebih sepuh daripada Imam Nawawi. Tapi Imam Nawawi jauh lebih mu’tamad pendapatnya. Hal ini karena Imam Nawawi menduduki maqamat bathiniyah yang sedikit lebih unggul daripada ulama lain. Sedalam apapun kaca mata lahiriyah dan argumen yang diolah, tetap saja ranah ini sangat terbatas. Berbeda dengan "kaca mata" bathiniyah yang jauh lebih luas dan tak tertakar ujungnya. Jika bathiniyah diibaratkan sinar-X yang mampu menebus hal-hal lahiriah (dzahir), maka Imam Nawawi melebihi sinar-X tadi. Lebih menembus. Para ulama lain mungkin memiliki kemampuan sinar-X yang menembus materi, tapi mungkin tidak sedalam yang dimiliki Imam Nawawi. Ibarat lain lagi, jika para ulama mujtahid ketika di pinggir pantai sudah dapat melihat isi lautnya, Imam Nawawi lebih tahu yang dalam lagi. Mungkin bisa yang lebih dalam, lebih dalam, dan lebih menembus hakikat materi yang ada di dalam lautan. Jadi penempatan sebuah pendapat ulama mujtahid tidak melulu didasarkan pada lebih alim & argumen yang lebih kuat.
Itu tadi baru ulama, yang hidup setelah Baginda Nabi wafat puluhan bahkan ratusan tahun lamanya. Lantas bagaimana dengan sahabat? Sebodoh-bodohnya sahabat, tidak dapat dibandingkan dengan para ulama mujtahid sekalipun. Setinggi-tingginya maqam bathiniyah seorang mujtajid, tidak akan layak dibandingkan dengan maqam bathiniyah para sahabat. Kemampuan seorang mujtahid bertemu Baginda Nabi secara kasat mata, dengan maqam bathiniyahnya, tidak seperti sahabat. Para sahabat makan bersama Baginda Nabi, shalat bersamanya, berbincang-bincang dengannya, secara langsung, sewaktu beliau hidup. Sementara ulama mujtahid untuk mencapai maqam bathiniyah tertentu harus menempuh jalan riyadlah dll., baru dibuka hijabnya oleh Allah. Demikianlah letak perbedaan tentang maqam bathiniyah, sehingga berakibat pada kualitas pendapat para ulama.
Wallahu A’lam. @HabibluthfiYahy
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment