Friday, February 26, 2016
Ulama Sufi Nusantara : Sepenggal Kisah Abah Didi (Sukabumi)
Sepenggal Kisah Abah Didi (Sukabumi)
"Tali Timba dan Cucian Kyai"
Dikalangan para "pencari" di era tahun 1995 sampai dengan tahun 2000-an nama Abah Didi di Sukabumi sdh tidak asing lagi. Beliau salah satu ulama yg memiliki "al hikmah" yg cukup tinggi. Hujahnya selalu menjadi "kenyataan" bagi para murid, masyarakat dan tamu yg datang kekediamannya. Muridnya banyak berdatangan dari seantero nusantara. Ulama besar ini kadang dianggap "mbeling" atau "gila" karena dianggap pengajarannya tidak sesuai dgn norma2 syariat Islam yg berlaku di masyarakat. Beliau jarang mengajarkan "kitab2" karangan para ulama sufi. Beliau mengajarkan ttg "dialektis kehidupan" sebagai suluknya. Bahkan ada muridnya yg dinikahkan tetapi selama 1 tahun, namun tidak boleh dicampuri, padahal tidurnya harus dalam 1 tempat tidur yg sama.
Kenapa Abah Didi bisa menjadi "hujjatul islam"? Bahkan Gus Dur pun pernah menyambangi Abah Didi saat sebelum dan telah menjadi Presiden RI.
Abah Didi lahir dgn nama Raden Didi Djayadinata, keturunan "menak" atau darah biru dari garut dan sumedang. Ayahnya yg bernama Raden Emor Djayadinata adalah seorang "jaksa agung" yg cukup ternama di era Presiden Soekarno.
Pada awalnya Abah Didi menjalani kehidupan seperti halnya para bangsawan (abangan) di Jawa. Sekularisme dengan menjadi pengusaha tembakau telah menjadi pilihan hidupnya. Sampai suatu ketika beliau bermimpi bertemu dgn "Rasulullah SAW" utk memperdalam Agama Islam.
Saat terbangun dari tidurnya, Abah Didi langsung berjalan mengikuti mata hatinya. Dan sampailah beliau di Pesantren Jampes, Kediri, Jawa Timur. Bertemulah Abah Didi dgn Kyai Mukhsin dan Abah Didi langsung "berikrar" menjadi murid Kyai Mukhsin.
Selama kurang lebih 5 tahun Abah Didi "mondok" di Pesantren Jampes. Bukan pengajaran kitab2 yg diberikan Kyai Mukhsin kepada Abah Didi, melainkan tugas "timba air" dan "mencuci pakaian kyai" setiap harinya selama kurang lebih 5 tahun.
Begitu luar biasa ketaatan dan kepatuhan Abah Didi kepada gurunya, Kyai Mukhsin. Dan waktu tak terasa sdh berjalan 5 tahun, Abah Didi kembali ke kota kelahirannya di Sukabumi. Tanpa menghiraukan dia bisa atau tidak membaca "kitab" Abah Didi tetap berjalan. Yg jelas ketaatan dan kepatuhan Abah Didi kepada Kyai Mukhsin menjadi sebab dia bisa "menjadi" hujjatul islam. Dan ajaibnya, Abah Didi bisa hafal dengan "kitab" yg diajarkan di Pesantren Jampes. Mungkin ini yg dinamakan "barokah guru".
Waullahu'alam bishawab.
Semoga menjadi i'tibar bagi orang2 yg terbuka hatinya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
kisah Abah Didi yg dituturkan langsung, selama Sy mondok disana masih tercatat di buku note Sy, yg beliau diminta menimba itu di Jombang.. Di jampes itu Beliau sudah ditunggu-tunggu oleh Kiyai Baji yg sebelumnya jarang keluar, hari-hari sebelum Abah Didi datang Beliau tampak sering keluar seperti menunggu seseorang , dan kemudian Abah Didi langsung diminta masuk ke sebuah ruangan dan dikurung disana (riadhoh) ternyata selama di dalam Beliau di ajarkan langsung oleh Kiyai Baji, guru dari Kyai Mukhsin yg saat itu sudah "tilem". wallahu a'lam bishshawab..
ReplyDeleteSaya teringat kisah nenek saya (fatimah Alm) ketika beliau masih hidup dan saya masih smp, bercerita sambil menyulam tentang proses suluk beliau (syeikh ibnu mas'ud) di rindu alam selabintana sukabumi, ketika nenek saya berkhidmat kepada beliau dengan mengantar makanan tp berpesan agar siapapun sementara jgn menggangu karena sedang tirakat. Saya sedang mencari asal usul pernasaban yg terputus hingga mengantarkan saya ke blog ini.....
ReplyDelete