Tuesday, March 31, 2015

Berserah diri dan Ridho



Wacana SUFI ke-83
Adab berserah diri dan ridho, bagaimana kita berserah diri dan ridho ? 
Orang tidak akan pernah bisa berserah diri, kalau tidak bisa ridho, dan sebaliknya orang itu sulit ridho kalau tidak ada sikap berserah diri. 
Maka soal adab yang berhubungan dengan qodo dan qodar Allah, takdirnya Allah yang berjalan, Syech Ibnu ‘Athaillah menyebutkan “tak satupun nafas yang nampak dan muncul, kecuali ada takdir Allah dibaliknya” 
munculnya nafas itu berarti masuk dan keluar. Ini nafas yang sifatnya dhohir. Nafas itu sangat menentukan tanda-tanda kehidupan. Orang ini hidup atau mati, salah satu indikator antara lain nafasnya ada atau tidak.   
Jadi Allah ini mentakdirkan kehendaknya Allah dan rasanya Allah, nafas itu keluar, ditakdirkan masuk lagi. Dikeluarkan lagi, dan nafas yang berbeda. Tidak ada nafas yang berulang. Keliahtanyya berulang, itu nafas kita yang berbeda.  
Kenapa Beliau menggunakan contoh nafas ? karena nafas itu sesuatu yang tampak, paling detail dalam gerak-gerik kita. Dan paling tidak diperhatikan ttg keluar masuknya nafas ini. Orang ketika bernafas, ya bernafas saja, tidak pernah “saya tak bernafas ah, dikeluarkan, terus dimasukkan”. Ya sudah keluar masuk saja, karena sangat lembut detailnya nafas. Dan itu ada takdir Allah, utk menyadari bahwa dibalik nafas ada Allah. 
ada satu toriqoh yang cara berdzikirnya keluar masuknya nafas, keluar nafas Allah, masuk nafas Allah. Walaupun serbenarnya masih ada yang lebih lembut dibanding nafas, yaitu detak jantung kita. Ada yang lebih lembut dibanding itu suasana bathin kita, maksudnya nafas bathin.  
Nafas bathin itu yang bagaimana ? yang muncul di dalam rasa kita terus berubah ini, itu nafasnya bathin kita. Itu juga tak lepas dari takdir qudrot irodahnya Allah, di dalam qodo qodarnya itu. beliau mengingatkan ini supaya kita menyadari dibalik nafas yang keluar masuk saja ada Allah, jangan sampai kita ini kemudian mencoba kontra kepada Allah dibalik apa yang ditakdirkan kepada kita.  
Ada seorang Sufi yang suatu saat bermunajat, “ya Allah, saya baiknya dihindarkan dari situasi ini dan itu”, tiba-tiba dia dapat ilham, mestinya doanya bukan supaya dihindarkan ini dan itu, berdoanya supaya diberi pertolongan Allah, sehingga dia kuat menghadapi ini dan itu.  
apa yang berhubungan dengan nafas itu tadi, maka sesungguhnya berhubungan erat dengan kehendak Allah yang mendahului nafas kita. Artinya disana sudah ditulis, jumlah nafas kita itu berapa, yang keluar, yang masuk, ada tulisannya di lauhul mahfudz. Kalo jumlahnya selesai ya sudah selesai juga kehidupannya, kan begitu. Karena dia sudah tidak bernafas lagi.  
Makanya sekedar sebuah nafas, ini harus bermakna. Harus kita sadari dibalik nafas ini ada Engkau Allah. Agar sisa nafas kita ini bersama Allah. Maka kalo sudah begitu, apa? Seseorang akan ridho, akan berserah. Semua ini kehendakmu. Ya sudah ridho kita. Ridho itu rela, bentuk senyumnya hati kita terhadap peristiwa-peristiwa enak maupun tidak enak."
[DR. KHM. Luqman Hakim | Masjid An Nuur, Modern Hill, Pondok Cabe, Tangerang Selatan | 18 Maret 2015]