Friday, February 26, 2016

GURU



Orang suka mengaku cinta kepada seorang syaikh (guru). Tapi jika syaikh­nya menguji, membentak, atau tidak mem­perhatikannya, ia segera pergi atau berpaling darinya. Seorang murid tidak akan memperoleh manfaat kecuali de­ngan menyaksikan kekhususan syaikh­nya dan berserah diri kepadanya.

Para syaikh zaman dahulu suka menguji murid-muridnya, seperti kisah Syaikh Umar Bamakhramah dengan syaikhnya, Abdurrahman Al-Akhdhar.

Ketika Syaikh Umar Bamakhramah ingin berguru, Syaikh Abdurrahman Al-Akhdhar berkata, “Boleh, tapi dengan tiga syarat.”

“Apakah ketiga syarat itu?” tanya Syaikh Umar Bamakhramah.

“Pertama, naiklah ke Gunung Qam­ram, lalu lompatlah dari puncaknya.”

“Baiklah.”

Keesokan harinya, Syaikh Umar Bamakhramah mendaki gunung terse­but. Berangkat pagi dan baru sampai ke puncaknya sore hari.

Ia kemudian terjun dari puncaknya, Syaikh Abdurrahman menangkapnya dan ia sampai ke bawah dengan se­lamat.

“Kau terjun dengan mata terbuka atau terpejam?” tanya syaikhnya.

“Terpejam.”

“Ulangi, terjunlah sekali lagi dengan mata terbuka.”

“Baiklah.”

Ia lalu terjun untuk kedua kalinya de­ngan mata terbuka dan mendarat de­ngan selamat,dan menyaksikan bahwa Syaikh Al Akhdar lah yg tlh menyelamatkannya.

“Sekarang syarat kedua, jika masya­rakat telah menghadap kiblat dan siap untuk shalat, menghadaplah ke timur lalu shalatlah (membelakangi kiblat).”

Syaikh Umar Bamakhramah menge­luh dalam hati, “Ujian ini lebih berat. Ujian ini menyangkut urusan agama, terlebih lagi masalah shalat.”

Namun apa yang terjadi ketika ia me­laksanakan syarat syaikhnya? Syaikh Umar berkata, “Ketika aku menghadap ke timur, kusaksikan Ka’bah di hadapan­ku. Aku lalu shalat menghadap Ka’bah itu.”

“Apakah syarat ketiga?” tanya Syaikh Umar kepada gurunya.

“Pergilah ke kota ‘Adn. Jika Alhabib Abubakar bin Abdullah Alaydrus keluar diiringi murid-muridnya, katakanlah ke­padanya, ‘Wahai Abubakar bin Abdullah, sesungguhnya kau tidak akan sekali-kali dapat menembus bumi dan tidak akan sekali-kali sampai setinggi gunung – QS Al-Isra (17): 37.”

Ketika Syaikh Umar sampai di kota ‘And, beliau mendapati jalan-jalan kota ‘And telah digelari permadani merah untuk jalan Alhabib Abubakar bin Abdullah Alaydrus dan pengikutnya.

Alhabib Abubakar bin Abdullah Alaydrus kemudian keluar menung­ga­ngi kuda, orang-orang berdatangan dari berbagai penjuru untuk mengelilingi­nya.

Syaikh Umar berkata dalam hati, “Ba­gaimana aku dapat mengucapkan apa yang diperintahkan kepadaku di ha­dapan kumpulan ini. Mereka tentu akan mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelihku. Namun jika aku diam, berarti aku telah melanggar perintah guruku.”

Ia duduk di tempat yang jauh dari orang-orang tadi, lalu berkata dalam hati­nya, “Wahai Abubakar bin Abdullah, sesungguhnya kau tidak akan sekali-kali dapat menembus bumi dan tidak akan sekali-sekali sampai setinggi gunung.”

AlHabib Abubakar bin Abdullah Alaydrus membaca isi hati­nya, padahal beliau berada jauh dalam iring-iringin manusia. Beliau berkata, “Aku menembus bumi dan menjadi se­tinggi gunung.”

Kemudian ia menunjuk Syaikh Umar dengan telunjuknya sembari berkata, “Kau akan terbakar.”

“Katakanlah di dunia,” ucap Syaikh Umar Bamakhramah ketakutan.

“Di dunia,” kata beliau.

Waktu AlHabib Abubakar bin Abdullah Alaydrus mengarah­kan telunjuknya kepada Syaikh Umar Ba­makhramah, Syaikh Al-Akhdhar me­nangkis dari kota Hainan. Akibatnya, tangan Syaikh Al-Akhdhar berlubang.

Demikianlah beratnya syarat yang diajukan oleh Syaikh Akhdhar dan ketulusan cinta yang ditunjukkan oleh Syaikh Umar.

No comments:

Post a Comment