Friday, June 26, 2015

Malu pada Allah


Wacana SUFI ke-92

Kita harus disiplin terhadap adab atau etika kita pada Allah. 

Adab itu lebih lembut dari akhlak, contohnya akhlak kita terkait makan yaitu cara makan kita bagus, baca bismillah terlebih dahulu, makan tidak sambil tertawa-tawa. Sedangkan adabnya makan lebih dari itu, misal “wah saya kok bernafsu sekali dengan lauk ini”, ketika anda benar-benar mengambil lauk itu, berarti kita kurang beradab karena menuruti nafsu. Sebaiknya menunggu dulu hingga anda tidak berselera, baru mengambil lauk tersebut. 

Jadi, sampai selembut itu adab kita kepada Allah.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bersabda: 
“Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu”, 
Ibnu Mas’ud berkata: kami kemudian bertanya: 
“Wahai Rasulullah, alhamdulillah sesungguhnya kami malu”, 
beliau bersabda: 
“Bukan begitu, namun yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu adalah menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala, menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan dengan perut, mengingat kematian dan saat badan hancur dalam kubur. Barangsiapa yang menginginkan akhirat hendaknya ia meninggalkan kesenangan dunia, barangsiapa yang melakukan hal tersebut maka sungguh dia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu.” 
[HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dan selain keduanya]

Apa yang dimaksud menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala ? yaitu secara dhohir ada indera kita, maka jagalah inderamu secara syar’i. Berikutnya di dalam kepala ada pikiran dan otak, maka jangan melamun, berimajinasi yang tidak-tidak, harusnya dibuat untuk tafakur. 

Bagaimana menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan dengan perut ? yaitu secara fisik perut seperti usus/liver/jantung, maka jagalah makan, jangan terlalu kenyang menuruti nafsu.  Ada juga didalamnya meliputi hati, ruh, sir (rahasia hati), maka jagalah agar tetap bersih dan bisa menjadi pantulan bagi cahayanya Allah.

Berikutnya mengingat kematian dan saat badan hancur dalam kubur,  ketika orang berbuat dosa, kemudian ingat kuburan, itu membuat syahwatnya hilang. Orang makan yang enak-enak saja, tiba-tiba ingat kuburan, menjadi tidak berselera. 

Ada sedikit kisah unik, saya mempunyai saudara di jombang, yang memiliki pesantren namanya Ponpes An Najar, artinya tukang kayu, karena memang kyainya seorang tukang kayu dan ahli bangunan. Suatu hari, saat saya masih nyantri di TebuIreng mampir ke pondok tersebut melihat sesuatu yang janggal, kemudian bertanya, “pak Ansor, ini kok ada batu nisan di emperan, siapa yang meninggal?”, 
Beliau menjawab, “oh tidak, itu memang sengaja saya pasang disitu”, 
Saya heran sekali, “lho buat apa?”, 
Jawabnya, “saya kalau mau keluar rumah, melihat nisan itu pasti ingat mati, dan nanti pulang balik lagi habis pergi akan melihat lagi nisan tersebut, jadinya ingat mati terus”. 
Pikir saya dalam hati, “hebat juga ini orang”.
Dan sampai sekarang pun ponpes dan nisan tersebut masih ada.  

Siapa yang berbuat itu semua, seperti yang diterangkan dalam hadits Rasul saw di atas, berarti dia benar-benar memiliki rasa malu di hadapan Allah. "
[DR KHM Luqman Hakim | Masjid Baiturrohim, Beji Timur, Depok  | 26 mei 2015]

Dunia Dalam Genggaman


Wacana SUFI ke-91

Di seluruh dunia modern saat ini, mayoritas kita justru ada di tangan dunia, bukan dunia di tangan kita., kenapa bisa terjadi jungkir balik seperti itu?

Padahal kita sebagai pribadi muslim seharusnya billah (bersama Allah), baru bisa dunia ada di tangan anda. Tanpa itu, kita akan berada di tangan dunia terus menerus, diseret terus oleh dunia.
  
Ada ungkapan Syech Ibnu Athaillah As Sakandary, “Anda menyertai dunia sepanjang anda tidak melihat Allah di balik dunia ini, tetapi ketika anda melihat Allah di balik dunia ini, maka dunia yang menyertai anda”.
  
Inilah teologi kerja yaitu etos kerja yang luar biasa. Selama ini kita berangkat dari rumah ke kantor, pulangnya malam, tidak terasa tiba-tiba sudah 20 tahun berlangsung, “lho, saya kok tua di jalan?”, hidup sekedar mondar-mandir saja tanpa makna. Dan kita diseret oleh dunia, tanpa sedikitpun dunia ada di genggaman kita.
  
Gerakan yang paling lembut dari dalam diri kita yaitu jantung, rata-rata dalam 1 menit kalau normal, terjadi detakan kurang lebih 90x. Jika satu hari ada 24 jam, maka akan ada sekitar 130.000x jantung berdetak (24 jam x 60 menit x 90 detak). Dan tidak ada detakan jantung yang berulang, semua detakan baru terus. Kita menyadari bahwa yang mendetakkan jantung adalah Allah, dari 130.000 kali yang berdetak, berapa kalikah yang berdetak bersama Allah?.
  
Seandainya hanya nol koma sekian persen jantung berdetak yang bersama Allah, misal itu hanya terjadi saat sholat subuh saja ingat kepada Allah, maka jantung akan berteriak, “Tuhan, seharian aku hampa, aku terlempar dalam kegelapan”.
  
Jantung itu memompa darah ke seluruh tubuh menjadi daging, tulang dll. Seandainya setiap detak jantung kita bersama Allah, maka darah yang mengalir akan bersama Allah, jadinya berdzikir, dan ketika dia menjadi tulang dan daging kita, berarti dibangun dari bahan baku yang berdzikir.
  
Itu yang disebut Rasul saw, “sesungguhnya Allah mengharamkan atas api neraka orang yang mengucapkan Laailahaillallah”, diprotes oleh malaikat, “dia rapornya merah di dunia, kenapa tidak kau bakar ?”, jawab api neraka, “tidak, karena kulit, tulangnya semua menyebut nama Allah, aku mendekat saja tidak mampu”.
  
Itu artinya bahwa hubungan kita dengan Allah ini sesungguhnya bukan hubungan yang transaksional. Hubungan kita adalah hubungan keniscayaan. Nafas yang keluar masuk itu niscaya, jantung berdetak itu niscaya, seandainya jantung di skors 5 menit saja oleh Allah, anda sudah di ICU.
  
Menjadi keniscayaan pula, bahwa hidup kita sehari-hari haruslah bersama Allah, dan ketika kita melihat dunia, lihatlah dibaliknya ada Allah. Sebenarnya, Allah tidak pernah menghilang, kita lah yang menghilang dari Allah. Kita lebih suka berselingkuh dengan dunia, dengan cipataan-ciptaanNya.
  
Bagaimana supaya hidup kita ini lebih bermakna?
  
Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Di antara tanda sempurnanya Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi dan yang lainnya).
  
Hadits itu bunyinya bukan mengerjakan hal-hal yang bermanfaat, tetapi meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Sebenarnya orang yang meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat, pasti aktivitasnya bermanfaat. Tetapi, kalau orientasinya mengerjakan hal-hal yang bermanfaat, dia tidak tahu bahwa juga melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat.
  
Oleh karena itu, dunia dalam genggaman itu harus kita aplikasikan secara sungguh-sungguh, bahwa saya tidak boleh terseret oleh dunia, tapi dunia harus ada di belakang saya. 

Selama ini, orientasi manusia modern, dunia dia letakkan di depannya, di ujungnya baru ada Tuhan, misalnya, “Tuhan, saya akan berkerja keras dulu, nanti saya akan dapat rizki, dunia dll, barulah saya beribadah”. Dia lakukan hal itu dan terwujud hidupnya menjadi sejahtera dan nikmat, kemudian Tuhan bertanya, “kapankah engkau bertemu Aku?”, “belum saat ini Tuhan, karena impianku belum selesai”. Dia mimpi baru lagi tentang dunia, lama-lama akhirnya mati. Dan dia belum pernah sama sekali bertemu Tuhannya.

Hal ini jangan sampai terjadi dalam kehidupan kita sebagai orang beriman yaitu selama hidup belum bertemu Allah. Rasul saw mengajak manusia, “hai umat manusia, di depanmu itu Allah, dunia ada di belakangmu, dunia ini hanya instrumenmu yang mendorong menuju kepada Allah. Bukan dunia dijadikan jembatan".

Saya melakukan survey ternyata mayoritas orang berpikirnya sbb : dirinya hidup -> dunia -> akherat -> surga-> baru akan ketemu Allah. 

Tuhan itu kelihatannya begitu jauh, dan baru saya temui setelah mati. Padahal Allah sebelum kita ada dan setelah nanti kita tidak ada, tetaplah Allah yang sama, tidak berubah, juga tidak bergerak, tidak diam, tidak ada warnanya, tidak ada bentuknya, tidak ada naik turunnya. Allah tetap sebagaimana adanya Dia. 

Selama-lamanya Allah tidak pernah menjadi akibat, tetapi selama ini kita memposisikan Allah sebagai akibat. Kita paksa Allah mengikuti selera-selera kita. 

Tuhan banyak diperkosa oleh orang-orang baik yang beriman atau tidak, ini yang harus kita dekonstruksi, tentang cara pandang bahwa Allah harus menjadi sebab segalanya.

Termasuk karena Allah lah dunia ada di tanganku, bukannya dunia ada di tanganku dulu, baru kemudian aku sampai kepada Allah. 

Sampai kapan pun tidak bakal sampai dan ketemu Allah. "
[DR KHM Luqman Hakim | Gedung Menara Multimedia, PT Telkom, Divisi Digital Bisnis, Jakarta | 26 mei 2015]

Objek Renungan


Wacana SUFI ke-90

Kita harus sering tafakur yaitu merenungkan tentang diri kita. 

Di balik alam semesta ada asma, sifat, dan af’alnya Allah, akhirnya kita mengakui hanya untuk menuju kepada Allah. 

Kita renungkan lagi segala syahwat kesenangan kita, 
“ya Allah, saya masih senang dengan ciptaan-ciptaanMu, bagaimana cara menghindarinya ?”, 
“setiap hari hobi saya adalah besok harus makan dimana, harus santai dimana, dan program senang saja yang muncul. Hal itu membuat diriku menjadi tidak mengenal Engkau, berat sekali melangkah menuju kepadaMu, gara-gara setiap hari membuat program senang mengikuti kesenanganku”. 

Karena itu, segala program kesenangan harus dilawan, sebab itu memanjakan nafsu kita. Kalau sudah begitu, cara melawannya harus dengan merenung, “dimana akarnya, kenapa saya bisa begini?”. 

Selanjutnya kita merenungkan, 
“kenapa saya mudah lupa kepada Allah?”, 
“sehari-hari banyak lupanya”, 
nah hal seperti ini harus direnungkan juga, sebab membuat diri kita tidak bisa hadir sungguhan ketika menghadap Allah. 

Banyak orang kebingungan, 
“saya ingin merenung, tapi apa yang saya renungkan ?”,
yang dipikirkannya justru hutang-hutang semua. 

Kalau anda ingat hutang, hal apa yang perlu direnungkan ? yaitu apa yang tersembunyi di balik hutang tersebut, sesungguhnya ada asma-asma Allah di balik hutang, dan jangan dikira tidak ada Allah. Jangan sampai hutang menjadi hijab, yang menghalangi diri kita melihat Allah. 

Jadi ini gambaran, bahwa objeck renungan kita itu berupa : 
1. alam ciptaan Allah, 
2. kesenangan-kesenangan di dalam bathin kita, 
3. kelalaian di dalam diri kita, 
4. pengingkaran-pengingkaran kita kepada Allah yang disebut maksiat. 

Itu semua harus menjadi objek perenungan, jangan sampai terlepas merenungkan empat hal tersebut. 

Kalau empat hal tersebut tidak muncul dalam objek renungan, orang akan berubah menjadi melamun, bukan merenung. "
[DR KHM Luqman Hakim | Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur | 3 Maret2015]

Penyebab Munculnya Cobaan


Wacana SUFI ke-89

Allah itu sudah membeli harta dan jiwa orang yang beriman dengan surga. 

Jadi, sebenarnya surga itu sudah diberikan oleh Allah, sehingga harta dan jiwa kita harus bermanfaat untuk kepentingan Allah. 

Munculnya cobaan di dunia ini, yang bermula dari cobaan psikologis maupun cobaan materi, itu gara-gara sebenarnya jiwa dan harta kita tidak untuk kepentingan Allah. Jika, kita menumpuk kekayaan supaya lebih super kaya, ini sebenarnya bakal mendatangkan cobaan dibelakangnya. 

Karena itu, bagaimana cara kita menyikapi terhadap dunia, harta, fasilitas ? yaitu bersama Allah (billah). 

Anda memegang dan beraktivitas apapun jangan bersama diri sendiri, sebab kalau bersama diri kita, itu pasti untuk senang-senang, dan untuk kepentingan nafsu kita. 

Beberapa waktu lalu, pernah saya ceritakan kisah Nabi Musa ketika disuruh membuang tongkatnya, yang ternyata menjadi ular, kemudian disuruh mengambil lagi oleh Allah, ular berubah jadi tongkat kembali dan sudah tidak bahaya. 

Harta itu juga begitu, kalau kita mengambilnya bersama Allah, harta tidak akan membahayakan lagi, karena fitnahnya harta/dunia sudah diambil oleh Allah. 

Maka, ketika anda mengambilnya bersama Allah, anda pun menerimanya dengan mengucap, “ya Allah terima kasih, ini dariMU”.

Dunia, harta, fasilitas atau apa saja harus kita nilai dari Allah, agar menjadi barokah dan bisa membuat rasa syukur kita semakin besar. "
[DR. KHM. Luqman Hakim | Masjid Baiturrohim, Beji Timur, Depok | 26 Mei 2015]

Taubatnya Taat



Wacana SUFI ke-88

Syech Ibnu Athaillah As Sakandary mengatakan, “ketika sedang taat, anda sangat butuh kasih sayang, perlindungan dan kelembutan dari Allah, lebih dari yang anda butuhkan dibanding ketika sedang maksiat”.

Hal ini karena umumnya orang butuh kasih sayang, perlindungan Allah, justru ketika maksiat, misalnya sehabis maksiat dia mengatakan, “ya Allah, aku mohon ampun padamu”. Padahal, yang kita butuhkan justru ketika kita sedang taat, yang sangat rawan dan rentan, bahkan sampai tidak diterima. 

Kita sangat butuh limpahan-limpahan kasih sayangnya Allah, termasuk tutupnya Allah atas keburukan dan aib-aib diri kita, butuh keikhlasan, khudur, musyahadah, makrifah ketika sedang taat. Lantas jangan meremehkan dan dianggap semuanya beres, sehabis berbuat taat, karena sebetulnya bisa jadi kita banyak maksiat kepada Allah ketika sedang taat. Misal ketika takbir sholat, kemudian pikiran kemana-mana, memikirkan uang, rumah, kerjaan, keluarga, bisnis, dll. 

Pernah saya bertanya kepada tukang main catur, “pak, anda kalau main catur, ketika sholat, apa yang sedang dipikirkan ?”, jawabnya polos, “ya catur, dalam sholat itu terlihat sekali strategi langkah kuda, benteng, dll”. Sama dengan orang yang suka main kartu, itu ketika sedang sholat, muncul semua strategi main kartunya. Ini namanya maksiat di balik ibadah. 

Maka Allah mempertegas, “Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati” (al-Hadid, 57: 6)

Menurut tafsir Syech Abul Abbas Al Mursi, “memasukkan malam ke dalam siang”, itu maksudnya maksiat dimasukan dalam ibadah, dan “memasukkan siang ke dalam malam “,itu maksudnya ibadah dimasukkan dalam maksiat. 

Betapa banyak orang beribadah tetapi sebenarnya dia masuk di dalam maksiat (malam dimasukkan di siang), dan begitu juga orang banyak maksiat lalu menjadi ahlu ibadah yang luar biasa (siang dimasukkan di malam). 

Kenapa saat taat itu kita banyak butuh pertolongan kepada Allah ? karena di balik taat itu ada hamparan Allah untuk menjanjikan derajat yang luhur, kemulyaan, dll, sehingga bisa jadi ketika kita taat timbul merasa lebih mulya di balik nafsu, karena memang karakter nafsu yang ingin muncul dan diperhatikan. 

Pada umumnya manusia sangat menghormati ahlu taat, di saat dia dihormati itulah pada saat yang sama diam-diam muncul takabur. Sehingga ketika taat, kita haruslah mewujudkan “La haula wa la quwwata illa billah”, tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah semata-mata, bahwa yang membuat ini semua adalah Engkau Allah, bersamaMu dan bukan bersama diriku.

Orang jika bersama dirinya, maka muncul kepentingan dirinya juga luar biasa. Gara-gara wiridan bersama dirinya, setelah wiridan beberapa bulan, justru mengeluh sebab ekonominya bertambah terpuruk. Ini namanya wiridan ditimbang dengan ekonomi. Padahal itu semua kepentingan anda di akherat, lha kok ingin diambil hari ini, nanti di akherat bisa bolong.  Maka, ketika taat itulah kita butuh sekali pertolongan Allah. 

Apa balasan Allah yang paling berharga di balik itu semua ? yaitu bahwa kita itu diterima, merupakan balasan yang tidak bisa ditimbang dengan dunia dan seisinya. Makanya oleh Allah pun disiapkan, kita kalau mau menghadap Allah, diwajibkan untuk berwudhu, dibersihkan dhohir dan bathinnya, dan jika sudah benar-benar free (bersih), barulah menghadap Allah. 

Maksiat yang justru menumbuhkan remuk redam di hati, itu lebih baik dari taat yang menjadikan takabur dan merasa lebih mulia dibanding orang lain, karena merasa mulia dan takabur ini bentuk penolakannya Allah pada kita. 

Salah satu sufi besar pada abad 3H mengatakan : “Taubatnya maksiat itu sekali saja cukup, tapi kalau taubatnya taat itu seribu kali taubat”. Ketika maksiat kemudian menyesal saja, itu sudah dianggap taubat oleh Allah. Dalam hal ini 2 hadits dengan redaksinya sama, “taubat itu menyesal” dan “menyesal itu sduah taubat”. Hal ini karena sangat cintanya Allah kepada kita, sehingga bagi orang yang bersalah dengan menyesal saja sudah diampuni. 

Sedangkan menghilangkan merasa beramal, bahwa amalnya lebih bagus dari orang lain, itu menghilangkannya butuh berkali kali, kiira-kira dibutuhkan istighfar 1000x. Dengan begitu kita tidak lagi menjadi orang yang merasa lebih mulia dari orang lain serta takabur. "
[DR. KHM. Luqman Hakim | Masjid Jami An Nur, Permata Hijau, JakSel | 11 Mei 2015]

Monday, June 22, 2015

Pengantar Filosofi Dzikir


Wacana SUFI ke-87
Apakah dzikir itu produk filsafat ? ataukah filsafat itu sendiri produk dzikir ?

Itulah kenapa para sufi yang sangat intens terhadap tema dzikrullah, kemudian memberi porsi bagian-bagian sistematis secara akademik dan praktikal yang berbeda-beda, hal ini karena sejarah dzikrullah itu sendiri.

Pendidikan pertama kali yang disampaikan oleh Allah pada manusia, yaitu pendidikan dzikir, bukan pendidikan yang lain-lain.

"Allah mengajarkan kepada Adam asma-asma seluruhnya" (QS AlBaqarah 31), yaitu asma-asma Allah maupun asma-asma selurun ciptaan Allah, dimana setiap nekles dari setiap ciptaan itu menyembunyikan asma Allah.

Nabi Adam as pertama kali diajari itu semua, sehingga beliau berdzikir dan tidak bisa menolak untuk tidak berdzikir selama-lamanya.

Di dalam proses penyempurnaan ajaran dzikir, jatuh kepada Rasul SAW, itupun yang diajarkan pertama kali oleh Allah kepada Nabi SAW adalah ajaran dzikir, "Bacalah dengan nama Tuhanmu" (QS Al Alaq 1)

Pada zaman nabi Adam as, saat itu Allah masih harus mendikte, sedangkan di era Rasul SAW sudah iqro (bacalah), berarti sudah sempurna.

Selanjutnya Rasul SAW mengatakan, "aku tidak bisa membaca", ketika itu Rasul SAW dipeluk oleh Jibril as dan diajari untuk iqro dalam suasana istiqro', kalau sekarang dalam istilah dunia tasawuf disebut madzub, disitulah Beliau gemetaran karena seluruh tubuhnya ( Jiwa, ruh, rahasia ruh ) berbunyi Allah semua.

Menariknya adalah saat Jibril as melanjutkan " Iqro' bismi robbikalladzi kholaq", kemudian Rasul saw langsung bisa menirukan ayat tersebut. Itu artinya Beliau sudah pada tingkat kesadaran, dan sudah mulai ada fikir.

"Bacalah dengan nama Tuhanmu", siapakah nama Tuhanmu ? yaitu Allah, maka maknanya bacalah semua AlQuran, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dengan "Allah...Allah...Allah...."

Meskipun saat itu kesadaran Beliau sudah mulai muncul, tetapi hatinya masih bergetar terus, ini artinya keniscayaan dzikir yang kelak kemudian di sistematisir oleh para akademisi, ulama-ulama Sufi supaya lebih mudah dipahami, bahkan termasuk dalam proses-proses praktek dzikir.

Rasul saw selain mengajari dzikir yang sifatnya untuk umum, Beliau juga mengajari dzikir secara khusus, dimana kelak dzikir secara khusus tersebut menjadi tradisi tarekat dzikir.

Lantas kenapa tarekat dzikir ada banyak dan bermacam-macam ? karena Rasul saw mengajari sayyidina Ali kwh berbeda dengan sayyidina Abu Bakar ra, beda pula kepada sayyidina Umar ra. Hal ini dikarenakan wadah spiritual para sahabat tersebut masing-masing berbeda.

Walaupun ada beberapa talqin dzikir yang sama di tarekat, tetap saja Rasul saw kadang memanggil satu persatu, atau berkelompok atau mengajari secara umum, contohnya dzikir untuk umum seperti sehabis sholat bagusnya membaca : istighfar, subhanallah 33x, dst.

Jadi, sebenarnya dzikir itu satu keniscayaan, maksudnya kalau kita menghitung nekles semesta itu, rasanya sudah tak terhingga. Di setiap nekles yang ada, itu tidak akan pernah ada, kecuali dibaliknya ada nama Allah, sehingga "kemanapun engkau menghadap, disitulah wajah Allah". (QS AlBaqarah 115). "
[DR. KHM. Luqman Hakim | Bedah Buku "Filosofi Dzikir", UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta | 3 Juni 2015]

Berkah para Wali Kekasih-Nya


Wacana SUFI ke-86
Kalau anda ingin mendapatkan semacam berkah atau bagian yang juga diberikan kepada para wali kekasih-kekasihNya, maka anda harus secara total jangan ada makhluk di hati. 

Kecuali di hatimu, masih dibolehkan mengikuti jejak orang-orang yang menunjukkan dirimu jalan menuju Allah, penunjuk jalan itu pasti antara lain melalui makhluk.

Selebihnya, kalau tidak menunjukkan dirimu menuju Allah, di hatimu sebaiknya dikosongkan untuk Allah saja.

Anda bisa mengikuti cara-cara penunjuk jalan tersebut, mereka caranya memberikan isyarat yang benar, atau amaliyah-amalaiyah istiqomah (rutin) yang tidak merusak AlQur'an dan Sunah Nabi.

Para Auliya dan Sufi dahulu, kalau mendapat isyaroh, mukasyafah, dibuka pencerahan ruhani, diberi pengalaman ruhani, dst akan tetap dikonfirmasi kepada AlQur'an dan Sunnah.

Jika pengalaman ruhani tersebut bertentangan dengan AlQur'an dan Hadits, maka mereka tinggalkan, akan tetap memihak AlQur'an dan Hadits.

Apabila pengalaman ruhaninya tidak dilarang dan juga tidak diperintahkan dalam AlQur'an dan Hadits, itu artinya dibolehkan.

Salah satu contohnya kehebatan Abul Hasan Al Asy'ari yang membangun paradigma aqidah Ahlus Sunah Wal Jamaah dengan sifat Allah yang berjumlah 20, dimana sebelumnya belum pernah ada, kelak para ulama penerusnya hanya mengembangkan  dan membangun dengan apa yang disebut sifat wajib, sifat mustahil dan sifat jaiz (kewenangan) Allah.

Ternyata sifat wajib, mustahil dan jaiz ini adalah karakteristik tentang kebenaran, sehingga hebatnya membuat seluruh pandangan liberal Islam yang dipelopori muktazilah saat itu langsung habis terkubur, begitu juga pandangan kaum fatalis yang dipelopori oleh kelompok jabariyah ikut tenggelam. "
[DR. KHM. Luqman Hakim | Masjid Baitul Ihsan, BANK INDONESIA, Jakarta Pusat | 3 Juni 2015]

Friday, June 19, 2015

Orang Bersyukur Kelompok Minoritas


Wacana SUFI ke-85
Mengingatkan pentingnya kalimat tasyakur Alhamdulillah, sebab orang bersyukur di dunia saat ini masuk kelompok minoritas. 

Hal ini memang sudah digariskan oleh Allah dalam firmanNya,
 “sedikit sekali kalian bersyukur”  (QS. AlMulk[67]: 23)
“mayoritas manusia tidak bersyukur” (QS.AlGhafir[40]: 61).  

Itu artinya orang bersyukur masuk kelompok minoritas, meskipun begitu mereka adalah kelompok minoritas yang sangat diperhatikan oleh Allah. 

Kenapa manusia sekarang ini sulit bersyukur ?

karena manusia sering melihat syukur dari wujud nikmat. Gara-gara yang dilihat wujud nikmat, malah sulit bersukur. 

Apakah kira-kira kita ingin seperti bani Israil ? karena Bani Israil itu bersyukurnya menunggu wujud nikmat. 

Maka di AlQuran disebutkan, 
“Hai Bani Israil, ingatlah nikmat-nikmatKu” (QS. AlBaqarah[2]: 40)

Itu maksudnya Allah menyuruh ingat nikmat-nikmatnya dahulu, sebab bani Israil itu “brengkelan” (bhs jawa) yaitu pertanyaannya detail sekali. Untuk bersyukur saja, oleh Allah harus ditunjukkan wujud detail –detail nikmatnya. 

Kita ini umat Rasul SAW, kita bersyukur langsung memandang AlMun’im, Sang Pemberi Nikmat. 

Meskipun kita diberi sedikit, itu pasti bersyukur, karena yang dilihat adalah Al Mun’in, Sang Pemberi Nikmat, bukan wujud nikmatnya. 

Kalau yang dilihat wujud nikmatnya, orang akan menunggu momen-momen nikmat, misalnya jika nikmatnya sudah besar, baru bisa bersyukur. Apalagi jika nikmatnya datangnya mendadak, “wah ini baru nikmat”, lha terus nikmat yang kemarin ? jawabnya: “itu kan hasil kerja keras saya”, “Itu kan gaji saya sebagai pegawai”.

Maka, marilah kita hari ini berterima kasih kepada Allah, karena banyak sekali telah diberi oleh Allah. 
Ibu-ibu apabila menerima uang dari suaminya, di hatinya mengatakan, “terima kasih ya Allah, Engkau memberi aku uang”. 
Bapak-bapak jika terima gaji dari kantor, hatinya berkata : “terima kasih ya Allah, ini gaji dariMu”. 
Pedagang-pedagang sewaktu terima uang dari konsumen, hatinya mengatakan : “terima kasih Allah, ini uang dariMu”.

Mulut mengatakan “terima kasih mas, pak, dek, dll”, karena itu adalah tugas mulut, sedangkan tugas hati berterima kasih kepada Allah. 

Manusia modern banyak kehilangan AlMun’im, Sang Pemberi Nikmat. Mungkin saja saat ini Sang Pemberi Nikmat baginya, sudah berbentuk bos perusahaannya, penguasanya, orang-orang yang menjadi pelanggannya. 
Berarti kita sudah memberhalakan banyak hal dalam kehidupan modern ini. Dan ini sesungguhnya membuat kita sedang tersiksa. Tidak perlu menunggu besok di akherat. Sekarang ini kita sedang disiksa oleh Allah. 

Wujud tersiksanya apa ? yaitu tidak bersyukur tadi. 

Ada juga orang tidak bersyukur, membuatnya merasa semakin nikmat, semakin kaya, padahal dia tidak tahu bahwa sebenarnya dia sedang tertutup dari Allah. Dan tertutup dari Allah di dunia itu siksaan yang paling tragis. 

Jangan dipahami siksaan itu wujudnya berupa gunung meletus, banjir, kecelakaan, dll, padahal itu belum tentu siksaan, jika banjir membuat orang semakin dekat dengan Allah, maka banjir tersebut adalah nikmat.

Tetapi dapat kekayaan, justru semakin jauh dari Allah, itu adalah siksaan. Maka Allah menyebutkan, 
“maka susungguhnya siksaKu sangat pedih” (QS.AlBaqarah[2]: 211)

Siksa mana yang pedih ? yaitu siksa terkena hijab, terhalang dengan Engkau, Allah. 

Kalo kita bersyukur itu harus yang gede, maksudnya bagaimana ? misalkan anda 3 hari atau 1 minggu di padang pasir, tidak ada makanan dan minuman, lalu tiba-tiba ketemu makanan yang anda sukai, itu pasti anda mengucapkan Alhamdulillah, seperti seluruh sendi-sendi anda juga ikut merasakan sangat Alhamdulillah. 

Sekarang, ketika kita membaca Alhamdulillah 33x setiap habis sholat, harus yang gede hatinya, mengucapkan terima kasih kepada Allah. Pernahkah kita mensyukuri ada air di rumah, lampu menyala, masih ada cabe, garam, dll ? barangkali ada yang sudah bersyukur dan banyak juga yang belum mensyukurinya.

Mengulas tentang syukur tidak akan pernah selesai sampai besok kiamat, karena nikmat Allah itu tidak bisa dihitung.
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat lalim dan banyak mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34).


Nabi Dawud pernah Munajat kepada Allah, 
“ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mensyukuri nikmatMu, sedangkan sekian banyak rambut yang tumbuh tidak bisa dihitung, dan itu merupakan nikmat dariMu, saya harus mensyukuri nikmat rambut yang baru tumbuh, terus rambut yang lainnya, bagaimana saya harus mensyukuri Engkau, ya Allah?” 

Oleh Allah dijawab, 
“wahai Dawud, cara bersyukurmu adalah engkau tahu bahwa semua itu dariKu, itu sudah cukup”. 

Jadi, kenapa orang sulit bersyukur ? karena tidak melihat semua itu dari Allah, tetapi dilihatnya dari tetangga, kolega, bos dll. Jika demikian, hidup sampai kiamat pun, sedikit sekali bersyukurnya. "
[DR. KHM. Luqman Hakim | Maulid Nabi SAW & Isro Mi'roj - Kebayoran Lama, Jaksel | 16 Mei 2015]

Thursday, June 18, 2015

Cahaya Membuka Kegelapan



Wacana SUFI ke-84
Apa sebenarnya fungsi cahaya bagi diri kita ?
Dimana posisi hati kita ketika menerima cahaya itu ?
Akal dan hati kita harus bagaimana ?

Nur itu memiliki fungsi membuka, yaitu membuka hal-hal yang tersembunyi, rahasia-rahasia Allah, serta ada juga nur yang membuka kegelapan alam.

“sesungguhnya alam ini gelap gulita, kemudia Allah mencahayai”

Dimana yang dicahayai oleh Allah ? yaitu dibalik semesta ini.

Maka, pada saat alam muncul, apakah aku melihat alam ini dengan pandangan gelap atau dengan pandangan terang ?

Kalau kita terpukau pada fisik wujud alam dengan mata kepala kita, sesungguhnya alam ini gelap. 

Tetapi kalau kita “melek” (melihat) dengan matahati, baru kita akan melihat ada Allah di balik alam, yaitu ada asma, af’al, sifat yang hidup, karena tanpa itu semua alam ini juga tidak ada. 

Sebuah benda terkecil atom/nuklir tidak akan pernah ada, kecuali karena ada asma Allah disitu. 

Hal ini, akan menghantar kita terus menerus untuk musyahadah. 

Musyahadah itu menyaksikan dengan mata hati, tentang hadirnya Allah di balik ini semua. 

Maka, orang tidak bisa menghindar dari Allah dan dia akan terus menerus berdzikir kepada Allah, dengan terus menerus meningkatkan kualitas dzikirnya.

“hari ini aku mengingatMu, dengan sebuah kesadaran akan hadirMu secara terus menerus”, lama-lama akan muncul, “aku mengingatMu juga dengan kepasrahan dan kerelaan”. 

Kemudian besok muncul lagi, bertambah terus, tambah yakin, tambah cinta, tambah makrifat, berlangsung terus menerus tidak ada selesainya, dan tidak ada habisnya.

Lantas tidak bisa dikatakan, “sudah final perjalananku”, rupanya masih akan ada terus. 

Dan yang anda cari masih ada di depan sana. "
[DR. KHM. Luqman Hakim | Masjid Baitul Ihsan, BANK INDONESIA, Jakarta Pusat | 20 Mei 2015]