Thursday, February 4, 2016

Tanya jawab : bolehkah zakat ke pesantren dan orang tua ?


Assalamualaikum bapak2 dan Mba2 ku...
Mw tanya tentang zakat penghasilan..
1.Bolehkah zakat penghasilan diberikan ke madrasah atau pesantren??
2. Boleh juga ga zakat penghasilan nya di berikan ke orang Tua??

----

Walaikumussalamwrwb


Pesantren dan Madrasah Sebagai Mustahiq (penerima zakat)
Masalah ini telah dibahas dalam Bahtsul Masail PWNU Jatim di PP Langitan Tuban 1988, dengan redaksi sebagai berikut:
Masalah:
Apakah Madrasah, PonPes dan lainnya dapat dimasukkan dalam “Ashnaf Tsamaniyah”?
Jawab:
Dalam hal ini ada dua pendapat, artinya memberikan zakat pada madrasah, ponpes dan semuanya ada dua pendapat:
1.      Tidak boleh. Berdasarkan keputusan MUKTAMAR NU seperti dalam kitab Ahkamul Fuqoha juz 1 hal. 9 mas’alah no. 5
2.      Boleh. Berdasarkan kitab tafsir Al Munir I / 344[2], demikian pula para ahli fiqih menyatakan boleh menyalurkan zakat kepada segala macam sektor sosial yang positif seperti membangun masjid, madrasah, mengurus orang mati dan lain sebagainya.

تفسير المنير ج 1 ص 344
وَنَقَلَ الْقَفَّالُ مِنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُمْ أَجَازُوْا صَرْفَ الصَّدَقَاتِ إِلَى جَمِيْعِ وُجُوْهِ الْخَيْرِ، مِنْ تَكْفِيْنِ مَيِّتٍ وَبِنَاءِ الْحُصُوْنِ وَعِمَارَةِ الْمَسَاجِدِ ، لِأَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى "فِى سَبِيْلِ اللهِ" فِى الْكُلِّ. اهـ
“Imam al-Qaffal mengutip dari sebagian ulama fikih bahwa mereka memperbolehkan mengalokasikan zakat ke sektor-sektor kebaikan, seperti mengkafani mayat, membangun benteng pertahanan dan membangun masjid. Sebab firman Allah yang berbunyi ‘Fi Sabilillah’ mencakup keseluruhan”[3]


Pendapat ini dikuatkan juga oleh Syekh Alwi Al Maliky dalam kitabnya “Qurrotul Aini” hal 73, beliau menyatakan:

فتوى الشيخ العلامة محمد على المالكى فى كتابه قرة العين ص 73 ونصه:
اِنَّ الْعَمَلَ الْيَوْمَ بِالْقَوْلِ الْمُقَابِلِ لِلْمَجْهُوْلِ الَّذِى ذَهَبَ اِلَيْهِ اَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلَ وَاِسْحَاقُ بْنُ رَهُوَيْهِ فِى اَخْذِ سَهْمِ سَبِيْلِ اللهِ مِنَ الزَّكَاةِ الْوَاجِبَةِ عَلَى اَغْنِيَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ لِلْاِسْتِعَانَةِ بِهِ عَلَى تَأْسِيْسِ الْمَدَارِسِ وَالْمَعَاهِدِ الدِّيْنِيَّةِ الْيَوْمَ مِنَ الْمُتَعَيَّنِ. اهـ
“Pada hari ini mengamalkan pendapat ulama yang berseberangan terhadap pendapat yang belum jelas sebagaimana dipilih oleh Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah dalam persoalan memungut bagian sabilillah dari zakat yang wajib atas orang-orang muslim yang kaya guna membantu pembangunan madrasah dan pesantren-pesatren Islam, adalah suatu keharusan”

Selain hasil Bahtsul Masail di atas, otoritas ahli fatwa dari universitas al-Azhar Kairo juga memutuskan, bahkan menguatkan pendapat Imam Qaffal yang memperbolehkan zakat untuk sektor sarana-prasarana, sosial dan sebagainya. Dalam fatwa  tersebut diungkapkan bahwa sebelum Imam Qaffal berpendapat demikian, ternyata diantara kalangan sahabat dan tabi’in telah melakukan hal yang seperti itu. Berikut ini adalah fatwa tentang zakat untuk membangun masjid yang dikeluarkan pada Muharram 1363 H/Februari 1944 M, sebagai muftinya adalah Syaikh Abdul Majid Salim:

فتاوى الأزهر - (ج 1 / ص 139)
وَظَاهِرٌ أَنَّ أَنَسًا وَالْحَسَنَ يُجِيْزَانِ صَرْفَ الزَّكَاةِ فِى بِنَاءِ الْمَسْجِدِ لِصَرْفِهَا فِى عَمَلِ الطُّرُقِ وَالْجَسُوْرِ وَمَا قَالَهُ ابْنُ قُدَامَةَ فِى الرَّدِّ عَلَيْهِمَا غَيْرُ وَجِيْهٍ لِأَنَّ مَا أُعْطِىَ فىِ الْجَسُوْرِ وَالطُّرُقِ مِمَّا أَثْبَتَتْهُ الْآيَةُ لِعُمُوْمِ قَوْلِهِ تَعَالَى { وَفِى سَبِيْلِ اللهِ } وَتُنَاوِلُهُ بِكُلِّ وَجْهٍ مِنْ وُجُوْهِ الْبِرِّ كَبِنَاءِ مَسْجِدٍ وَعَمَلِ جَسْرٍ وَطَرِيْقٍ  ... وَالْخُلَاصَةُ أَنَّ الَّذِى يَظْهَرُ لَنَا هُوَ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ بَعْضُ فُقَهَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ جَوَازِ صَرْفِ الزكَّاَةِ فِى بِنَاءِ الْمَسْجِدِ وَنَحْوِهِ فَإِذَا صَرَفَ الْمُزَكِّى الزَّكَاةَ الْوَاجِبَةَ عَلَيْهِ فِى بِنَاءِ الْمَسْجِدِ سَقَطَ عَنْهُ الْفَرْضُ وَأُثِيْبَ عَلَى ذَلِكَ وَاللهُ أَعْلَمُ
“Secara dzahir, Anas (bin Malik) dan Hasan (al-Bashri) memperbolehkan penggunaan zakat untuk membangun masjid, membangun jalan atau jembatan. Sedangkan bantahan dari Ibnu Qudamah (Hanabilah) terhadap pendapat di atas, tidak kuat. Sebab penggunaan dana untuk jembatan dan jalan termasuk dalam lingkup keumuman ayat ‘Fi Sabilillah’, sebagaimana membangun masjid, pengadaan jembatan dan jalan.... Kesimpulannya, kami sependapat dengan sebagian ulama yang memperbolehkan alokasi zakat untuk pembangunan masjid dan lainnya. Jika seorang muzakki menyerahkan zakat wajibnya untuk membangun masjid, maka kewajibannya telah gugur dan akan mendapatkan pahala.”

----

8 kelompok (asnaf) yang berhak menerima zakat :

Dalam surat At-Taubah, Allah berfirman,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ  (التوبة: 60

“Sesungguhnya, zakat-zakat itu, hanyalah untuk
1. orang-orang fakir,
2. orang-orang miskin,
3. pengurus-pengurus zakat,
4. para mualaf yang dibujuk hatinya,
5. untuk (memerdekakan) budak,
6. orang-orang yang berutang,
7. untuk jalan Allah,
8. dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (Qs. At-Taubah:60)

Apa yang dikemukakan ayat di atas tidak satu pun menyebutkan kedua orang tua sebagai salah satu golongan yang berhak menerima zakat. Dari sini saja kita sudah dapat memahami bahwa seorang anak tidak boleh memberikan zakatnya kepada kedua orang tua. Sebab, anak adalah bagian dari keduanya.

Dengan kata lain, jika seorang anak memberikan zakatnya kepada kedua orang tuanya maka ia seolah-olah memberikan kepada dirinya. Sebab, ia adalah bagian dari mereka. Dan harta yang dimiliki seorang anak itu juga merupakan harta kedua orang tuanya. Dalam sebuah hadits dikatakan:

 أَنْتَ وَمَالُكَ لأَبِيكَ -رواه البزار

“Kamu beserta hartamu adalah milik orang tuamu” (H.R. al-Bazzar).

Dengan demikian, pada dasarnya memberikan zakat kepada kedua orang tua hukumnya tidak diperbolehkan. Namun apakah ketidakbolehan ini berlaku secara mutlak? Dalam hal ini menurut Ibn al-Mundzir bahwa ketidakbolehan memberikan zakat kepada kedua orang tua ketika dalam kondisi dimana si pemberi zakat harus dipaksa untuk memberikan nafkah kepada kedua orang tuanya.

أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ الزَّكَاةَ لَا يَجُوزُ دَفْعُهَا إِلَى الْوَالِدَيْنِ فِي الْحَالِ الَّتِي يُجْبَرُ الدَّافِعُ إِلَيْهِمْ عَلَى النَّفَقَةِ عَلَيْهِمْ

“Para ulama telah sepakat (ijma`) bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada kedua orang tua dalam kondisi dimana si pemberi zakat (muzakki) harus dipaksa untuk memberi nafkah kepada orang tuanya.”. (Ibn al-Mundzir, al-Ijma`, ‘Ajman-Maktabah al-Furqan, cet ke-2, 1420 H/1999 M, h. 57)

Apa yang dikemukakan Ibn al-Mundzir menunjukkan bahwa ketidakbolehan memberikan zakat kepada kedua orang tua itu dibatasi dalam kondisi dimana si muzakki (orang yang wajib membayar zakat) berkewajiban memberikan nafkah kepada kedua orang tuanya. Hal ini mengandaikan si anak menjadi orang yang mampu sedang orang tuanya tidak. Maka kewajiban si anak memberikan nafkah kepada orang tuanya.

Dalam kondisi yang seperti ini jika seorang anak memberikan zakatnya kepada orang tua,  maka menjadikan mereka tidak membutuhkan nafkah darinya serta gugurnya kewajiban anak memberikan nafkah kepada orang tua. Akibatnya, manfaat dari zakat itu malah kembali kepada si anak, dan seolah-olah ia mengeluarkan zakat untuk dirinya.        

Berangkat dari penjelasan singkat ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian 2,5 % dari penghasilan—sebagaimana pertanyaan di atas—yang ada diberikan kepada orang tua bukan masuk kategori zakat, tetapi masuk kategori shodaqoh sebagai bentuk ihsan atau berbuat baik kepada kedua orang tua.

Namun jika orang tua ternyata tidak mampu, maka pemberian tersebut bisa dikategorikan sebagai nafkah kepada mereka. Sebab, kewajiban anak adalah memberi nafkah kepada orang tua apabila mereka adalah orang yang tidak mampu. (sumber: nu online)

>>>

Sodaqoh paling afdhol ialah yang diberikan kepada keluarga dekat............ (HR. Ath-Thabrani dan Abu Dawud)

"Barangsiapa yang menginfaqkan kelebihan hartanya di jalan Allah SWT maka Allah akan melipatgandakan dengan tujuh ratus (kali lipat). Dan barangsiapa yang berinfaq untuk dirinya dan keluarganya, atau menjenguk orang sakit, atau menyingkirkan durii, maka mendapatkan kebaikan dan kebaikan dengan sepuluh kali lipatnya. Puasa itu tameng selama ia tidak merusaknya. Dan barangsiapa yang Allah uji dengan satu ujian pada fisiknya, maka itu akan menjadi penggugur (dosa-dosanya).”(HR. Ahmad).

No comments:

Post a Comment