Friday, February 5, 2016

Pelajaran kesombongan dibalik sebutir nasi


Kiai-Kiai kita dulu, jika ada satu butir nasi saja yang jatuh, langsung diambil dan dimakan. Sebab, terkadang karena satu butir nasi bisa menimbulkan rasa sombong. Letak kesombongan ada di hati. Kadang-kadang, satu butir nasi saja jatuh, kita agak malu untuk mengangkatnya kembali: “Ah, cuma sebutir kok. Biarin saja lah. Masih punya beras yang banyak.”

Padahal, satu butir nasi itu bisa sampai di piring kita karena proses yang teramat panjang: ditanam, tanahnya dibajak, memakai sapi/kerbau/traktor, petaninya berkeringat di tengah terik matahari sehari penuh, mengairi, dicangkul, sampai panen membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sesudah jadi beras pun, harus didistribusikan ke pasar, sampai ke warung beras, dibeli ibu kita sampai ke dapur, dibersihkan, ditanak sampai matang, dan tersaji di hadapan Anda.

Ada banyak tangan yang memiliki andil dalam sebutir nasi. Kiai-kiai kita mengajarkan untuk menghargai prosesnya. Baginda Rasul pun mendidik kita untuk bersyukur ketika hendak menyantap makanan: “Allahumma barik lana fima razaqtana (Ya Allah, berkahilah makanan yang Engkau rizkikan kepada kami)”, dan disambung dengan doa, “Waqina adzab al-Nar (dan jaga kami dari siksa api neraka).”

Dalam rizki yang sangat kecil (sebutir nasi) saja kita lupa untuk bersyukur, bagaimana bisa kita akan bersyukur untuk hal-hal yang besar?

Makanan yang jatuh, sebutir nasi pun itu, manusia tidak ada satupun yang mampu menciptakannya. Adakah yang mampu mencipta sebutir nasi?

Hanya Allah yang mampu. Sebutir nasi, yang kita sendiri tidak dapat menciptakannya, adalah rejeki. Jika ada sebutir nasi yang jatuh, lantas kita malu mengangkatnya, apakah hal ini menghina kehormatan Allah yang sudah memberikannya kepada kita semua?

Apakah hal ini bukan sombong namanya? Seperti merasa mampu menciptakan sebutir nasi, lantas ada nasi yang jatuh dibiarkan.

Kenapa sebutir nasi begitu malu diambil, tapi jika uang yang jatuh kita malah tak malu mengambilnya? Alih-alih menyimpannya baik-baik di dalam dompet, jika kotor kita bersihkan.

Pada doa sebelum makan, seperti yang diajarkan Baginda Nabi, dari meminta berkah pada rejeki yang diberi disusul permohonan dijaga dari siksa api neraka.

Itu karena kita begitu mudah menyepelekan rejeki, seperti nasi, padahal kita sendiri tidak mampu membuatnya. Apakah bukan sombong namanya?

Anda punya uang, anda beri kepada yang membutuhkan, tapi yang Anda beri malah menyepelekan uang pemberian Anda.

Benar ini namanya tidak syukur nikmat, tapi kiai-kiai kita merasa ada kesombongan di sana.

Semoga dimengerti.

Wallahu A’lam.

No comments:

Post a Comment