Monday, February 1, 2016

Kisah Tentang Gus Miek


Gus Miek dan Tiga Preman Tanjung Priok

Ustaz Suhaimi bercerita pada suatu hari di bilangan Tanjung Priok pada tahun 1996 ada tiga preman yang kerjaannya memalak setiap truk kontainer yang masuk pelabuhan. hasil palakannya digunakan untuk mabuk-mabukkan, main perempuan atau berjudi.
Hingga pada suatu hari datanglah seorang pria mengenalkan dirinya bernama Gus Miek. Lantas pria itu ngobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal, mulai dari masalah politik, ekonomi hingga menyentuh masalah agama.
Begitu lembut dan inteleknya pria itu berbicara, hingga akhirnya ketiga preman itu mulai tertarik dengannya. Apalagi pria itu orangnya asyik diajak gaul ala preman dan suka mentraktir makan, minum dan rokok.
Hingga akhirnya masuk waktu salat Zuhur, lantas Gus Miek mengajak ketiga preman itu untuk ikut salat. Pada mulanya mereka menolak, tapi Gus Miek merayunya dengan iming-iming barangsiapa yang mau salat dengannya, maka akan dikasih uang Rp. 50.000 (Uang segini besar pada waktu itu). Maka walaupun terpaksa akhirnya ketiga preman ini mau ikut salat di belakang Gus Miek, tentu saja niatnya demi mendapat uang.
Begitulah setiap waktu salat, pasti mereka salat berjamaah bersama teman barunya, Gus Miek. Kejadian ini berlangsung hingga 3 bulan lamanya. Hingga pada akhirnya ada kesadaran tersendiri bagi tiga preman itu untuk salat, apalagi Gus Miek juga mengajarkan masalah agama yang selama ini belum pernah mereka dengar.
Dan memasuki bulan keempat, Gus Miek sudah tidak menemui tiga preman tersebut. Tentu saja mereka kalang kabut, karena sudah terbiasa salat berjamaah bersama Gus Miek. Mulai ada kerinduan dari ketiga preman itu akan sosok pria misterius yang selama ini selalu mengajak mereka kepada kebaikan dan mengajarkan mereka tentang masalah agama.
Rupanya tingkah mereka menarik perhatian Ustaz Suhaimi yang ketika itu baru pulang dari acara Maulid di Masjid Luar Batang. Lalu sang ustaz menghampiri mereka di teras masjid dan menanyakan banyak hal. Kemudian 3 preman itu bercerita tentang perjumpaan mereka dengan seorang pria misterius yang membuat mereka akhirnya mulai mendalami masalah agama.
Betapa kagetnya Ustaz Suhaimi ketika mendengar nama Gus Miek disebut oleh mereka. Lantas sang ustaz yang saat itu membawa buku saku tentang Dzikrul Ghofilin memperlihatkan foto seorang ulama kepada ketiga preman itu, “Apakah pria misterius itu seperti orang ini?”
Dengan nada heran, preman itu menjawab, “Iya benar. Apakah Ustaz kenal dengan dia?” Ustaz Suhaimi menjawab, “Bukan kenal lagi. Ini guru saya. Beliau seorang ulama besar yang merupakan
waliyullah . Beliau sudah wafat 3 tahun yang lalu.”
Seperti tersambar petir, terkejut bukan kepalang tiga preman ini mendengar penjelasan Ustaz Suhaimi. Jadi selama ini mereka mendapat pencerahan dari seorang ulama besar, waliyullaah terkenal, yang sudah lama wafat.
Menangislah mereka sambil menciumi tangan Ustaz Suhaimi sambil menyatakan keinginan mereka untuk bertobat dan meminta beliau mau mengajari mereka tentang masalah agama. Akhirya sang ustaz pun menyanggupinya dengan berurai air mata.





Suatu ketika, rombongan keluarga K.H. Ahmad Shiddiq yang tengah khusyuk ziarah di makam Sunan Ampel terganggu oleh kedatangan rombongan Gus Miek yang terdiri dari berbagai latar belakang sosial.
Rombongan yang cukup banyak itu sedikit gaduh sehingga mengusik rombongan yang lain, termasuk rombongan K.H. Ahmad Shiddiq. Melihat rombongan Gus Miek yang campur-aduk dan gaduh itu K.H. Ahmad Shiddiq menyingkir lalu melanjutkan perjalanan ke Pasuruan menemui Kiai Hamid Pasuruan yang masih merupakan kerabatnya.
K.H. Ahmad Shiddiq bercerita kepada Kiai Hamid bahwa dirinya telah bertemu dengan Gus Miek dan rombongannya saat ziarah di makam Sunan Ampel. “Ya… Pak Kiai, begini, Gus Miek itu di atas saya,” jawab Kiai Hamid setelah mendengar pengaduan K.H. Ahmad Shiddiq.
“Ah, masak?” tanya K.H. Ahamd Shiddiq tidak percaya karena Kiai Hamid sudah sangat masyhur kewaliannya di kalangan ulama Jawa. “Saya itu tugasnya ‘sowan’ kepada para kiai. Kalau Gus Miek itu tugasnya kepada bromocorah (bajingan),” jawab Kiai Hamid.
K.H. Ahmad Shiddiq hanya diam saja mendengarkan dan penuh keraguan. “Benar, Pak Kiai. Gus Miek itu tugasnya kepada para bromocorah, para pemabuk, penjudi, perempuan nakal, dan orang-orang awam. Untuk tugas seperti itu saya tidak sanggup,” tegas K.H. Hamid.
Setelah mendengar jawaban Kyai Hamid, K.H. Ahmad Siddiq dengan perasaan yang berkecamuk langsung berangkat ke Ploso menemui K.H. Djazuli (Ayahnya Gus Miek) untuk mengadukan jawaban K.H. Hamid tersebut.
“Begini, Kiai Ahmad, saya dengan Gus Miek itu harus bagaimana?! Dulu, Kiai Watucongol (Mbah Dalhar) juga menceritakan kehebatannya Gus Miek. Saya jadinya hanya bisa diam saja,” jawab K.H. Djazuli.
Diceritakan juga, K.H. Ahmad Shiddiq pernah mengadu kepada Kiai Hamid tentang sepak terjang Gus Miek dan para pengikutnya karena kebetulan K.H. Ahmad Shiddiq juga sering ke Tulungagung, di rumah mertuanya, sehingga ia sering menyaksikan hal yang ganjil.
“Begini Pak Kiai, sampeyan kalau baik dengan saya, berarti juga harus baik dengan ‘sana’ karena ia kakakku. Sampean buka saja kitab ini halaman sekian,” jawab Kiai Hamid. Akhirnya, K.H. Ahmad Siddiq pulang dan membuka kitab yang telah sering dibacanya. K.H. Ahmad Shiddiq pun menjadi mengerti maksud dari kitab itu dan kaitannya dengan laku Gus Miek.
Diceritakan juga Ketika Gus Miek masih berusia 9 tahun, Gus Miek sowan ke rumah Gus Ud (K.H. Mas’ud) Pagerwojo, Sidoarjo. Gus Ud adalah seorang tokoh kharismatik yang diyakini sebagai seorang wali. Dia sering dikunjungi olah sejumlah ulama untuk dimintai doanya. Di rumah Gus Ud inilah untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu K.H. Ahmad Siddiq, yang di kemudian hari menjadi orang kepercayaannya dan sekaligus besannya.
Saat itu, K.H. Ahmad Shiddiq masih berusia 23 tahun, dan tengah menjadi sekretaris pribadi K.H. Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai menteri agama. Sebagaimana para ulama yang berkunjung ke ndalem Gus Ud, kedatangan K H. Ahmad Shiddiq ke
ndalem Gus Ud juga untuk mengharapkan do’a dan dibacakan Al-Fatihah untuk keselamatan dan kesuksesan hidupnya.
Tetapi, Gus Ud menolak karena merasa ada yang lebih pantas membaca Al-Fatihan. Gus Ud kemudian menunjuk Gus Miek yang saat itu tengah berada di luar rumah. Gus Miek dengan terpaksa membacakan Al-Fatihah setelah diminta oleh Gus Ud.
K.H. Ahmad Shiddiq, sebelum dekat dengan Gus Miek, pernah menemui Gus Ud untuk bicara empat mata menanyakan tentang siapakah Gus Miek itu. “Mbah, saya sowan karena ingin tahu Gus Miek itu siapa, kok banyak orang besar seperti Kiai Hamid menghormatinya?” tanya K.H. Ahmad Siddiq.
“Di sekitar tahun 1950-an, kamu datang ke rumahku meminta do’a. Aku menyuruh seorang bocah untuk mendoakan kamu kan. Itulah Gus Miek. Jadi, siapa saja, termasuk kamu, bisa berkumpul dengan Gus Miek itu seperti mendapatkan
Lailatul Qadar ,” jawab Gus Ud.
Begitu Gus Ud selesai mengucapkan kata Lailatul Qodar, Gus Miek tiba-tiba turun dari langit-langit kamar lalu duduk di antara keduanya. Sama sekali tidak terlihat bekas atap yang runtuh karena dilewati Gus Miek. Setelah mengucapkan salam, Gus Miek kembali menghilang. Subhanallah

No comments:

Post a Comment