Tuesday, February 2, 2016

Interpretasi kitab suci


Begitu lama umat beragama ( Hindu, Budha, Yahudi , Kristiani dan Islam ) terbaring di lorong kesunyian teologis. Mereka kadang terlantar dalam lipatan teks Tripitaka, Veda, Taurat, Injil , al quran dan kitab suci lain lantaran penafsiran nya dimonopoli oleh teolog, ustad/ustazah, pastur, habaib, rabay, pendeta, bedande. Pada sisi lain, teolog dan para agamawan sengaja ber-ulah demikian setidaknya untuk beberapa alasan: pertama, sebagai usaha memposisikan diri sebagai penafsir tunggal dan pemegang kebenaran kitab suci, atau ahli waris sah para Rosul utusan Tuhan dan paling representative dalam memahami teks kitab suci. Dengan demikian, kedua , terjadi jarak antara agamawan dan umatnya. Konsekuensi sosiologis , para agamawan dipandang sebagai orang saleh dan umat yang duduk berjejalan di pura, masjid,synagogue, Vihara dan Gereja hanya orang bersalah dan berdosa melulu. Mereka hanya patut dan patuh mendengar kotbah di hari jumat pun di minggu pagi. Ketiga , mimbar rumah - rumah ibadah menjadi pusat otoritas pengklaiman penafsiran kebenaran firmanNya. Sebaliknya, kalian semua sebagai umat tidak pernah berdiri di mimbar untuk mengotbahkan pengalaman iman kesehariannya kepada umat lain dan terutama kepada agamawan. Atau orang berkepribadian ekstrim terlihat religious tapi pembunuh berdarah dingin, agent narkoba yang tobat, mahasiswa2 yang putus harapan, generasi muda yang galau pada masa depannya, pelacur yang rajin ke masjid dan Gereja, atau bahkan penggali kubur yang menyekolahkan anaknya untuk jadi ustad/pastur. Orang orang seperti ini  perlu menyatakan pengalaman religious nya dengan membangkitkan kesadaran , berdiri !  (
 QUM , FA ANZHIR = bangkitlah ! sadar lah ! Berilah peringatan ! Jadilah Munzhirul qoum ! Umat yang memberi peringatan pada diri sendiri dan yang lain  bahwa " zhalika al-kitab "  the mother of the Book, induknya semua kitab suci juga turun pada setiap manusia. Pada ujung spectrum yang lain, membaca kitab suci bagai sedang menyebrang arus dialektika . kitab suci dalam statusnya sebagai teks adalah sebuah " teks setengah jadi " . kitab suci bukan teks siap jadi dan siap saji seperti mie instant, Risalah, makalah ilmiah, journal atau buku buku. Teks ilmiah seperti disebutkan tadi tergolong teks harafiah yang bersifat low context text ( teks konteks rendah ) yang mudah dipahami maknanya. Teks kitab suci merupakan sebuah " teks setengah jadi " , teks yang berkelindan dengan metaforis, analogis, dan penuh dengan bahasa-bahasa simbolis. Diselimuti pula oleh konteksnya yang jauh secara geografis maupun secara historis. Sifat teks yang setengah jadi itu memerlukan teori dan metode tidak hanya " Ta'lim " ( transmission knowledge from Head to Head ) tapi juga " Tarbiyah " ( transform from the dark side of soul into the light side of soul ). Teks Kitab suci tergolong teks high context text ( teks yang memerlukan interpretasi secara intensif ), artinya , sifat teks demikian menyebabkan jarak antara pembaca umum dengan Tuhan yang berfirman. Tidak semua orang dapat menafsirkan teks kitab suci secara tepat kecuali pribadi - pribadi yang tercerahkan ( QS : 56: 79 ) laa yamas suhu illal muthahharuun ) tidak ada seorang pun yang dapat menyentuhnya   ( the mother of the book tentunya yang dmaksud disini  adalah Tuhan itu sendiri ) kecuali  pribadi-pribadi yang tercerahkan secara intelektual, moral, mental dan spiritual ). Hal yang lebih spesifik dari interpretasi kitab suci adalah keterlibatan imajinasi rasa, rasio dan pergulatan pengalaman prosesi manusia dari ruang rutin ( shalat, sembahyang ) menuju ruang ritual sakral ( mi'raj ). Di sanalah diperlukan pergumulan iman secara masif dan intens. Lanskap retorika, alegori, analogi dan metafora merupakan container yang mengawetkan dan mengabadikan berkas berkas kebenaran Ilahi di dalam nya. Allahu a'la, wa a'lam wa ahkam.

Ust. Yusuf Daud SCI
Jombang. 2 Feb 2016.

No comments:

Post a Comment