Friday, January 8, 2016

Menjadi Diri Kita Sendiri, Bukan Arab atau Barat

 
Menjadi Diri Kita Sendiri, Bukan Arab atau Barat

Hubungan Arab (khususnya Arab Teluk), Barat (khususnya Amerika Serikat), dan Indonesia (khususnya yang pro-Arab) itu menarik, unik, dan lucu. Relasi mereka ibarat ''cinta segitiga'' yang tak berujung. Negara-negara Arab, khususnya Arab Teluk (Saudi, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Oman), yang kaya kandungan minyak dan mineral, adalah kawasan ''sangat Barat'' dan jelas-jelas ''pro-Amerika'' (dan Inggris).

Di kawasan itu, dengan mudah dijumpai aneka jenis produk Barat: makanan, minuman, pakaian, furnitur, elektronik, komputer, otomotif, dan lain sebagainya. Mal-mal megah dibangun, antara lain, untuk menampung beragam produk Barat tadi.

Berbagai perusahan Barat di segala bidang mempunyai cabang di sini. Sangat gampang dijumpai berbagai restoran cepat saji seperti Pizza Hut, McDonald's, KFC, Subway, Burger King, Dunkin Donuts, dan lainnya, tidak hanya di mal, bahkan di kampus-kampus.

Di Arab Saudi saja, menurut data Euromonitor International, total penjualan fastfood pada 2014 mencapai SAR 22 milyar (sekitar Rp 80 trilyun). Tidak hanya restoran cepat saji, restauran-resaturan populer di Amerika juga menjamur di Arab Teluk, sebut saja Hamburgini, Terrace Grill, Applebees's, Taco Bell, Planet Hollywood, Steak House, dan Buffalo Kings.

Warga Arab menjadi konsumen setia. Mereka, selain gemar sembahyang dan membangun masjid, juga hobi makan dan shopping. Warga Arab, terutama Arab perkotaan, sangat ''modern'' dan hedonistik. 

Teluk Arab jadi Negara Mekanik

Perusahaan-perusahaan besar (seperti Aramco di Saudi) dan kampus-kampus juga menggunakan komputer dan software (asli, bukan bajakan, karena membajak adalah haram) produk Amerika (Dell dan Microsoft, misalnya).

Berbagai universitas beken di Amerika juga membuka cabang di Teluk (selain Saudi, yang hingga kini belum membolehkan), seperti Georgetown University, Texas A&M University, New York University, dan Carnegie Melon University.

Saudi sendiri, di bawah bendera King Abdullah Scholarship, mengirim lebih dari 150.000 warganya untuk menuntut ilmu di berbagai bidang di kampus-kampus top di Barat, khususnya Amerika, Kanada, Eropa, dan Australia, dari program strata 1 sampai doktoral.

Tidak ada satu pun yang dikirim ke Indonesia! Sementara itu, (sebagian) warga Indonesia memimpikan belajar di Tanah Arab.

Tidak seperti ''kawasan Arab'' lain yang rata-rata miskin dan terbelakang (seperti Aljazair, Maroko, Yaman, Tunisia, Sudan, Mauritania, Djibouti, Comoros, Yordania, Irak, dan Suriah), Arab Teluk adalah kawasan industri metropolitan yang sangat modern, kosmopolitan, berteknologi, dan kaya, sehingga menjadi lahan subur berbagai produk Barat.

Karena statusnya sebagai kawasan industri metropolitan, maka negara-negara Arab Teluk membutuhkan berbagai tenaga kerja dari luar (khususnya, India, Pakistan, Bangladesh, Filipina, Afrika, serta sejumlah negara-negara Arab miskin) untuk memenuhi kebutuhan pasar yang membludak.

Karena banyak kaum migran non-Arab di sini, maka bahasa Inggris menjadi "bahasa kedua'' sebagai medium komunikasi di Arab Teluk. Bukan hanya itu, Bahasa Inggris juga menjadi ''bahasa elite'' karena banyak pekerjaan akademik dan non-akademik yang membutuhkan skill ''bahasa bule'' ini.

Kondisi Arab Teluk dewasa ini seolah membenarkan tesis klasik Daniel Lerner, ''Mecca and Mechanization'' dalam The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East (1958).

Lerner mengusulkan (kepada Pemerintah Amerika Serikat) bahwa proses pemodernan dan ''pembangunanisme'' Arab dan Timur Tengah adalah jalan terbaik untuk membendung laju komunisme Soviet yang dulu mewabah di kawasan itu. 

Kini, bisa dilihat, gelombang serbuan modernisasi, industrialisasi, dan teknologisasi ala Barat telah menyulap Arab Teluk menjadi ''negara mekanik'' yang bertumpu pada mesin, industri, dan teknologi.

Bukan lagi sebagai pusat spiritual-kebudayaan-keilmuan yang dulu dikagumi banyak orang. Bahkan, Mekkah sendiri kini telah menjelma menjadi area industri dan kawasan metropolitan mini yang ''melayani'' kapitalisme global.

Warga Arab Inferior pada Bule

''Kecintaan'' Arab terhadap Barat bukan hanya ditunjukkan dengan kecintaan mereka terhadap aneka produk Barat, melainkan juga dibuktikan dengan kebijakan politik-pemerintahan dan perilaku masyarakat Arab yang memberi keistimewaan terhadap warga Barat (sebut saja ''bule'').

Sudah menjadi ''rahasia umum'', jika warga Barat, khususnya yang bekerja di sektor industri (dan bahkan di perguruan tinggi), mendapat gaji tinggi serta fasilitas, tunjangan, dan bonus lumayan (bahkan kadang lebih mewah dari warga Arab sendiri).

Warga bule juga mendapat ''perlakuan khusus'' jika ada masalah, seperti pelanggaran lalu lintas. Jika ada orang bule mendapat tilang di jalan raya, polisi akan mempermudah penyelesaiannya. Tapi jika non-bule yang melanggar, akan rumit urusannya. 

Perbedaan perlakukan ini terjadi karena ada asumsi di kalangan Arab bahwa jika ada non-bule yang membawa mobil, itu berarti mobil majikannya, jadi harus ditahan sampai sang ''majikan'' membayar denda dan datang ke kantor polisi untuk mengambil mobilnya. Sementara itu, kalau bule tidak perlu, karena dalam mindset mereka, itu pasti mobilnya sendiri.

Mayoritas warga Arab juga sangat hormat sekaligus inferior terhadap bule. Saya sering jalan-jalan dengan kolega bule ke tempat pameran, mal, bank, dan lain-lain, dan saya sering dianggap sebagai ''jongos'' teman-temanku tadi.

Kebanyakan universitas di Arab Teluk hanya mau merekrut tenaga pengajar alumnus kampus-kampus di Amerika dan Eropa. Kaum akademik Arab masih beranggapan kalau ''sarjana bule'' lebih berkualitas ketimbang non-bule sampai sarjana non-bule tadi mampu membuktikan performa prima akademiknya.

Sementara itu, para sarjana Islam Arab sering menganggap muslim non-Arab sebagai ''mualaf'' yang tidak paham tradisi, sejarah, seluk-beluk, dan wacana keislaman. Padahal, banyak ulama Nusantara yang dulu sangat dikagumi kapasitas keilmuannya di tanah Haramain. 

Bagi mayoritas Arab di area Teluk, warga non-bule--dari mana pun negaranya, apa pun agamanya--adalah ''kelas kuli'', bukan ''komunitas intelektual''. Sedangkan warga bule --dari mana pun asalnya, apa pun agamanya, apa pun status sosial mereka-- akan dianggap sebagai ''wong elite,'' ''kaum berilmu'', dan ''kelas majikan''.

Warga Arab baru akan menaruh rasa hormat tehadap non-bule setelah mengetahui identitas mereka sebagai ''tenaga halus'', bukan buruh atau pekerja kasar.

Ironi Pro Arab dan Anti Barat

Berdasarkan sejumlah fakta sosial diatas, terasa ironis sekaligus menggelikan melihat perilaku para fans Arab ''yang lugu'' di Indonesia. Simak saja, misalnya, mereka begitu mati-matian ''meng-tuan-kan'' Arab, sementara Arab sendiri tidak menggubris mereka.

Mereka begitu ''memuja'' para sarjana agama Arab, sedangkan mereka sendiri menganggap penduduk Indonesia sebagai ''mualaf'' atau ''Islam nominal'' yang miskin ilmu dan pengetahuan keislaman sehingga perlu ''diceramahi'' dan ''diluruskan'' akidah dan pemahaman keagamaannya.

Menariknya lagi, para "cheerleaders'' Arab di Indonesia juga mati-matian anti-Barat karena dianggap sebagai ''negara kafir'', sementara Arab sendiri mati-matian membela Barat sebagai simbol kemodernan dan kemajuan.

Uniknya, meskipun warga Arab itu pro-Barat, masyarakat Barat menganggap Arab memusuhi Barat, padahal rezim pemerintahan mereka (khususnya AS dan Inggris) sangat jelas ''pro-Arab'' (Teluk).

Masyarakat Barat menganggap Arab itu anti-Barat terutama, sejak mega-tragedi terorisme memilukan pada 11 September 2001 yang menghancurkan gedung World Trade Center dan Pentagon lantaran 20 pembajak pesawat yang menabrakkan pesawatnya itu warga Arab, khususnya Saudi.

Padahal, hanya sejumlah kelompok kecil ''salafi ekstrem'' Arab saja yang anti-Barat karena dianggap sebagai pengotor budaya Arab dan nilai-nilai fundamental Islam. Meskipun kaum ''salafi ekstrem'' ini membenci kebudayaan imaterial Barat, mereka juga penikmat produk-produk material Barat seperti warga Arab kebanyakan. 

Ada alasan kuat kenapa rezim politik Sunni Arab Teluk (dengan Saudi sebagai komandonya) itu pro-Barat (wa bil khusus Amerika), yaitu tidak lain agar Amerika memberikan ''proteksi politik'' dan jaminan keamanan teritori Teluk dari potensi ancaman aneksasi rezim Syiah Iran.

Amerika tentu saja senang ''digaet'' Arab Teluk karena produksi senjatanya laku keras (Arab Teluk adalah konsumen senjata produksi Amerika terbesar di dunia!) Aneka bisnis Amerika di Teluk juga lancar.

Menjadi Diri Kita Sendiri

Dengan ilustrasi di atas, bukan berarti saya anti-Arab atau anti-Barat, karena saya mempunyai banyak teman, kolega dan murid-murid dari ''dua dunia'' ini yang sangat baik. Saya juga tahu, ada warga Arab yang sangat ramah dengan non-Arab dan tidak etnosentis menyikapi kebudayaan asing.

Saya bukan pro-Arab atau pro-Barat, meskipun saya banyak mengambil hal-hal positif dari keduanya. Meskipun pernah dididik di Amerika dan pernah mengajar di sana dan kini menjadi ''guru'' di Saudi, saya tetaplah saya, seorang Jawa kampung. 

Daripada ''menjadi Arab'' atau ''menjadi Barat'', akan jauh lebih bijak ''menjadi diri kita sendiri'' dengan tetap menghargai dan menjunjung tinggi warisan khazanah kebijaksanaan, nilai tadisi, dan kebudayaan lokal yang kaya-raya warisan para leluhur. Apalah artinya kita mati-matian membela bangsa lain dengan memusuhi bangsa sendiri? Wallahu 'alam bi-shawab.

Sumanto Al Qurtuby

Dosen antropologi dan Kepala General Studies Scientific Research King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi.

No comments:

Post a Comment