Wacana SUFI ke-76
" Allah swt tidak rela kalau anda menjadi pecinta tapi tidak dicintai. Kita ini mencintai Allah, tapi Allah tidak suka. Maunya Allah itu, sang hamba mencintai dan dicintai. Itu artinya kalau kita ingin mencintai Allah, tetapi terus-menerus maksiat. Berarti kita mencintai tapi tidak dicintai.
Kemudian bagaimana posisinya sang kekasih dibanding sang pecinta ? Bagi seorang hamba yang mengenal, tentang berbuat baik. Misalnya kita mengenal ada seseorang, dimana dia berbakti kepada tuan yang baik sekali. Kemudian si hamba sengaja berbuat salah pada tuannya --yang seharusnya jangan dilakukan seperti tiu--. Merupakan suatu kebaikan seorang tuan, manakala melihat pembantunya atau pegawainya bersalah, dia justru memaafkan. Sebaliknya tuan yang tidak baik, apabila dia tidak mau memaafkannya.
Begitu juga kebaikan dan kebajikan ilahi, ketika ada seorang hamba menentang atau melanggar, justru dipanggil dan dibukakan pintu ampunanNya. “wahai hambaKU….. kemarilah!”. Bagi hamba yang mengenal Dia, maka akan segera memenuhi panggilan ampunanNya.
Kita tidak akan pernah mengenal, kalau tidak pernah muroqobah. Muroqobah itu mengintai dan mewaspadai Allah swt terus menerus. Orang mengenal (makrifat) akan selalu mengatakan, “aku ingin terus menerus dekat Engkau dan tidak ingin kehilangan Engkau, Allah”.
Orang tidak akan mendapat keuntungan, jika hatinya selalu sibuk dengan selain Dia. Dia itu memberi semuanya kepada kita dengan penuh cinta, namun kita sendiri justru sibuk dengan yang lain di hati kita. Kalau melakukan hal itu, berarti kita sedang tidak beruntung, sedang tidak mendapat keuntungan besar dari Allah swt.
Maka orang yang mengintai waspada, akan tahu bahwa nafsu selalu mendorong seseorang untuk berbuat kerusakan dan kehancuran. Nabi Adam saat turun dari surga ke dunia, doa yang selalu dipanjatkan, “Robbana dholamna anfusana”. Ya Allah, kami dholim, nafsu kami yang dholim ini. Sesungguhnya yang mengajak kami harus melanggar adalah nafsu kami.
Seseorang akan tahu bahwa hati selalu mengajak yang benar, ke jalan yang lurus. Orang maksiat kalau melihat kadar dirinya saat bermaksiat, dia akan mengetahui betapa agungnya ampunan Allah swt. Jika sudah tahu besarnya ampunanNya, maka dia justru akan menghindari dan tidak mau berbuat maksiat.
“lho, orang tersebut semakin bertambah maksiat saja ya ?” itu pasti karena dia tidak mengetahui kebesaran ampunan Allah swt. Kalau dia mengetahui Allah Maha Pengampun dan Maha Besar Ampunannya, maka dia pasti berhenti berbuat salah.
Jangan sampai kita seperti yang dikatakan oleh Al Hasan RA, ada seseorang berimajinasi atau melamun ampunan Allah swt. “Allah Maha Besar, saya husnudzon saja akan ampunan Allah, jadi kalo saya maksiat tidak apa-apa lah, khan Dia Maha Pengampun”. Nah ini namanya orang melamun ampunan, bukan benar-benar memohon ampunan. Kalau orang mohon ampun, pasti dia akan berbuat baik.
[DR. KHM. Luqman Hakim | Masjid BANK INDONESIA, Jakarta Pusat | 12 Maret 2014]
Kenapa ? karena sebenarnya perbuatan baik itulah yang menyongsong kebesaran agungnya ampunan. "
No comments:
Post a Comment