Wacana SUFI ke-91
" Di seluruh dunia modern saat ini, mayoritas kita justru ada di tangan dunia, bukan dunia di tangan kita., kenapa bisa terjadi jungkir balik seperti itu?
Padahal kita sebagai pribadi muslim seharusnya billah (bersama Allah), baru bisa dunia ada di tangan anda. Tanpa itu, kita akan berada di tangan dunia terus menerus, diseret terus oleh dunia.
Ada ungkapan Syech Ibnu Athaillah As Sakandary, “Anda menyertai dunia sepanjang anda tidak melihat Allah di balik dunia ini, tetapi ketika anda melihat Allah di balik dunia ini, maka dunia yang menyertai anda”.
Inilah teologi kerja yaitu etos kerja yang luar biasa. Selama ini kita berangkat dari rumah ke kantor, pulangnya malam, tidak terasa tiba-tiba sudah 20 tahun berlangsung, “lho, saya kok tua di jalan?”, hidup sekedar mondar-mandir saja tanpa makna. Dan kita diseret oleh dunia, tanpa sedikitpun dunia ada di genggaman kita.
Gerakan yang paling lembut dari dalam diri kita yaitu jantung, rata-rata dalam 1 menit kalau normal, terjadi detakan kurang lebih 90x. Jika satu hari ada 24 jam, maka akan ada sekitar 130.000x jantung berdetak (24 jam x 60 menit x 90 detak). Dan tidak ada detakan jantung yang berulang, semua detakan baru terus. Kita menyadari bahwa yang mendetakkan jantung adalah Allah, dari 130.000 kali yang berdetak, berapa kalikah yang berdetak bersama Allah?.
Seandainya hanya nol koma sekian persen jantung berdetak yang bersama Allah, misal itu hanya terjadi saat sholat subuh saja ingat kepada Allah, maka jantung akan berteriak, “Tuhan, seharian aku hampa, aku terlempar dalam kegelapan”.
Jantung itu memompa darah ke seluruh tubuh menjadi daging, tulang dll. Seandainya setiap detak jantung kita bersama Allah, maka darah yang mengalir akan bersama Allah, jadinya berdzikir, dan ketika dia menjadi tulang dan daging kita, berarti dibangun dari bahan baku yang berdzikir.
Itu yang disebut Rasul saw, “sesungguhnya Allah mengharamkan atas api neraka orang yang mengucapkan Laailahaillallah”, diprotes oleh malaikat, “dia rapornya merah di dunia, kenapa tidak kau bakar ?”, jawab api neraka, “tidak, karena kulit, tulangnya semua menyebut nama Allah, aku mendekat saja tidak mampu”.
Itu artinya bahwa hubungan kita dengan Allah ini sesungguhnya bukan hubungan yang transaksional. Hubungan kita adalah hubungan keniscayaan. Nafas yang keluar masuk itu niscaya, jantung berdetak itu niscaya, seandainya jantung di skors 5 menit saja oleh Allah, anda sudah di ICU.
Menjadi keniscayaan pula, bahwa hidup kita sehari-hari haruslah bersama Allah, dan ketika kita melihat dunia, lihatlah dibaliknya ada Allah. Sebenarnya, Allah tidak pernah menghilang, kita lah yang menghilang dari Allah. Kita lebih suka berselingkuh dengan dunia, dengan cipataan-ciptaanNya.
Bagaimana supaya hidup kita ini lebih bermakna?
Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Di antara tanda sempurnanya Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi dan yang lainnya).
Hadits itu bunyinya bukan mengerjakan hal-hal yang bermanfaat, tetapi meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Sebenarnya orang yang meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat, pasti aktivitasnya bermanfaat. Tetapi, kalau orientasinya mengerjakan hal-hal yang bermanfaat, dia tidak tahu bahwa juga melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Oleh karena itu, dunia dalam genggaman itu harus kita aplikasikan secara sungguh-sungguh, bahwa saya tidak boleh terseret oleh dunia, tapi dunia harus ada di belakang saya.
Selama ini, orientasi manusia modern, dunia dia letakkan di depannya, di ujungnya baru ada Tuhan, misalnya, “Tuhan, saya akan berkerja keras dulu, nanti saya akan dapat rizki, dunia dll, barulah saya beribadah”. Dia lakukan hal itu dan terwujud hidupnya menjadi sejahtera dan nikmat, kemudian Tuhan bertanya, “kapankah engkau bertemu Aku?”, “belum saat ini Tuhan, karena impianku belum selesai”. Dia mimpi baru lagi tentang dunia, lama-lama akhirnya mati. Dan dia belum pernah sama sekali bertemu Tuhannya.
Hal ini jangan sampai terjadi dalam kehidupan kita sebagai orang beriman yaitu selama hidup belum bertemu Allah. Rasul saw mengajak manusia, “hai umat manusia, di depanmu itu Allah, dunia ada di belakangmu, dunia ini hanya instrumenmu yang mendorong menuju kepada Allah. Bukan dunia dijadikan jembatan".
Saya melakukan survey ternyata mayoritas orang berpikirnya sbb : dirinya hidup -> dunia -> akherat -> surga-> baru akan ketemu Allah.
Tuhan itu kelihatannya begitu jauh, dan baru saya temui setelah mati. Padahal Allah sebelum kita ada dan setelah nanti kita tidak ada, tetaplah Allah yang sama, tidak berubah, juga tidak bergerak, tidak diam, tidak ada warnanya, tidak ada bentuknya, tidak ada naik turunnya. Allah tetap sebagaimana adanya Dia.
Selama-lamanya Allah tidak pernah menjadi akibat, tetapi selama ini kita memposisikan Allah sebagai akibat. Kita paksa Allah mengikuti selera-selera kita.
Tuhan banyak diperkosa oleh orang-orang baik yang beriman atau tidak, ini yang harus kita dekonstruksi, tentang cara pandang bahwa Allah harus menjadi sebab segalanya.
Termasuk karena Allah lah dunia ada di tanganku, bukannya dunia ada di tanganku dulu, baru kemudian aku sampai kepada Allah.
Sampai kapan pun tidak bakal sampai dan ketemu Allah. "
[DR KHM Luqman Hakim | Gedung Menara Multimedia, PT Telkom, Divisi Digital Bisnis, Jakarta | 26 mei 2015]
No comments:
Post a Comment